Kamis, 23 April 2009

Chapter Five


Chapter 5

Papa Adi adalah perokok. Sampai Adi duduk di kelas 4 hampir tidak ada hari dimana Adi melihat papanya tidak merokok. Hal itu membuat Adi berpikir, apa enaknya merokok? Adi juga melihat di televisi, tokoh-tokoh dalam film seringkali merokok, terutama jika filmnya tentang mafia Italia, dimana pimpinannya biasanya menghisap cerutu. Adi sering mengikuti gaya merokok dalam film dengan menggunakan pulpen atau pensil sebagai pengganti rokok.

Rasa penasaran Adi terhadap rasa rokok memuncak. Sampai suatu hari, Adi di rumah hanya dengan kakaknya dan pembantu rumah. Kakaknya sedang tertidur, dan pembantunya sedang sibuk di dapur. Adi menemukan bungkus rokok papanya yang tertinggal. Papanya pergi dengan murid-murid papanya, entah kemana. Menemukan rokok menganggur seperti itu, Adi langsung berlari ke dapur dan mencari korek api. Setelah menemukan yang dicari, Adi kembali ke kamar dan mulai menyalakan rokok. Adi menghisap rokok itu, dan kemudian membuang asapnya. Adi kemudian menjilati bibirnya, terasa manis. Adi penasaran ingin melihat seperti apa dirinya yang sedang merokok. Adi kemudian duduk di depan cermin sambil terus menghisap rokok. Adi mencoba berbagai cara mengeluarkan asap dari mulutnya, mulai dari menghembuskannya ke depan seperti biasa, menghembuskan dari pinggir mulutnya, dan bahkan mencoba membuat bentuk lingkaran seperti apa yang dia lihat di salah satu cerita bergambar keluaran luar negeri.

Percobaan rokok pertamanya terhenti saat Adi mendengar suara pintu kamar kakaknya terbuka. Dengan segera Adi mematikan rokok dan mengibas-ngibaskan tangannya pada kepulan asap rokok yang tersisa. Setelah beberapa saat, pintu kamar kakaknya kembali terbuka dan tertutup. Sepertinya kakaknya hanya pergi ke kamar mandi. Adi kemudian membakar kembali sisa rokok yang tadi dia matikan, dan menghisapnya lagi. Mulai saat itu, setiap rokok papanya tertinggal, Adi pasti menghisapnya.

---- 0 ----

Jam di dinding menunjukkan waktu pukul 18.25 WIB. Adi, papa dan kakaknya sedang menonton televisi. Tiba-tiba topsi menggonggong. Dengan sigap, Adi pergi keluar dan melihat siapa yang datang. Adi melihat dua orang temannya berdiri diluar pagar rumahnya. Mereka memanggil-manggil nama Adi. Adi kemudian keluar dan menghampiri mereka.

Ada apaan malem-malem?” Tanya Adi.

“Di, keluar yuk sebentar, ikut gue ma Indro” kata Jupri, salah satu temannya.

“Ya udah, tunggu ya, gue bilang papa dulu”

“Eh Di, bawa uang ya” tambah Jupri.

“Buat apaan?”

“Udah, bawa aja

Walaupun tidak mengerti untuk apa, Adi masuk kedalam dan meminta ijin pada papanya. Tentu saja Adi tidak lupa membawa sisa uang jajannya hari ini.

Ada apa sih Pri?” Tanya Adi pada Jupri setelah mereka mulai berjalan meninggalkan rumah Adi.

Gue ma Indro mau beli rokok, lu mau kan?”

“Beli? Mang berapa?”

Lu bawa berapa?”

Gopek” jawab Adi sambil mengeluarkan lima lembar uang seratus rupiah.

Lu Ndro, bawa berapa?” Jupri bertanya pada Indro.

“Tiga setengah nih” jawab hendro sambil mengeluarkan tiga keping uang seratus rupiah dan sekeping uang lima puluh rupiah.

“Sini, kumpulin duit lu semua” Jupri mengumpulkan uang yang dibawa Adi dan Indro, dan kemudian memasukkan kedalam sakunya.

Lu berdua tunggu disini, gue ke warung dulu. Korek lu bawa kan Dro?” kata Jupri seraya meninggalkan Adi dan Indro tanpa menunggu jawaban Indro.

Emang lu merokok Dro?” tanya Adi.

Gue baru mau coba nih. Lu?”

Gue sering kalau dirumah”

“Wah, sama kaya Jupri lu. Enak banget. Gak dimarahin lu?”

“Kalau ketahuan ya dimarahin lah”

Tidak lama kemudian Jupri datang membawa sebungkus rokok yang sama dengan rokok papanya Adi. Jupri membuka bungkusnya dan masing-masing dari mereka mengambil satu batang.

Lu kok merokoknya kaya gitu di? Kaya baru belajar aja” kata Jupri.

Emang kenapa?”

“Ditarik dong asapnya, kaya gue nih” jawab Jupri sambil memperagakan gaya merokoknya.

“Oh gitu”

Lu juga Dro, ditarik”

Adi dan Indro mencoba melakukan apa yang ditunjukkan Jupri. Adi dan Indro terbatuk saat pertama menghirup asap rokok dan menelannya. Lama-kelamaan, Adi mulai terbiasa sementara Indro yang memang baru pertama kali menghisap rokok masih terbatuk-batuk. Jupri hanya tertawa melihat Indro. Mereka bertiga merokok sampai jam 9 malam. Sebelum pulang, Jupri mengingatkan Adi dan Indro supaya mereka mengganti baju sesegera mungkin setelah mereka tiba di rumah masing-masing. Menurut Jupri, supaya Adi dan Indro tidak ketahuan merokok oleh orang tua mereka.

---- 0 ----

Di suatu malam, Adi sedang bersama kakak sepupunya sedang menonton film video betamax. Papanya sedang bertugas diluar kota dan baru akan kembali dalam beberapa hari kedepan. Adi tidak bisa ikut papanya kali ini karena harus sekolah. Kakak sepupunya diminta oleh papanya Adi untuk menjaga Adi dan kakaknya, karena hamper seluruh isi rumah berangkat dengan papanya Adi. Kakak sepupu Adi bernama Tian. Adi sudah menganggap Tian seperti kakak laki-lakinya sendiri. Adi bahkan mengidolakan Tian.

Sedang serunya menonton film, tiba-tiba topsi mengonggong. Seperti biasa, Adi adalah yang paling cepat untuk berlari keluar dan melihat siapa yang menarik perhatian anjingnya itu. Adi melihat dari balik jendela, seorang wanita membawa dua buah tas. Adi mengenali wajah wanita itu, yang belum menyadari bahwa Adi sedang melihatnya. Wanita yang datang malam itu adalah…..Mamanya.

Kakaknya yang tiba kemudian, langsung membuka pintu dan setengah berlari menghampiri mamanya.

“Mama!” ujar kakaknya seraya memeluk tubuh mamanya.

“Hai. Wah, sudah besar kamu. Kelas berapa sekarang?”

“Aku sudah SMP ma. Mama dari mana? Langsung dari Cikembar?”

Enggak. Mama dari rumah teman mama. Papa kamu ada?”

“Papa ke Cikembar”

“Oh….Mama boleh masuk Gi?”

“Oh iya, masuk ma”

Mama dan kakaknya beranjak dari teras memasuki rumah. Setelah menutup pintu masuk, mata mamanya terhenti pada sosok Adi yang berdiri terpaku melihat sosok mamanya. Adi tidak dapat mempercayai penglihatannya.

“Adi? Ini Adi? Ya ampun..besar sekali kamu Di” kata mamanya dan melangkah mendekati Adi.

Adi hanya berdiri diam, tidak berusaha menghampiri dan tidak berusaha menjauh juga. Dalam hatinya terjadi peperangan yang dahsyat antara rindu dan benci. Satu sisi dia sangat merindukan mamanya, tapi di sisi lain dia sangat membenci mamanya yang telah meninggalkan keluarga mereka sejak Adi kecil. Tangan mamanya meraih dan memeluk Adi. Adi tidak membalas pelukan mamanya, nampaknya rasa benci sedang unggul dibanding rasa rindunya.

“Kamu kelas berapa Di, sekarang?” Tanya mamanya.

“Empat” jawabnya seadanya.

“Besar ya kamu sekarang..” Tanya mamanya lagi sambil melepaskan pelukan dan mengamati Adi dari atas ke bawah.

“Iya”

“Ma, ke kamarku yuk” ajak kakaknya kepada mamanya.

“Ayo. Mama ke kamar kak Anggi ya Di” mamanya membawa tas-tasnya dan beranjak menuju kamar Anggi, kakaknya Adi.

“Oh ma, ingat kan? Ini Tian” kata kakaknya saat melewati kamar Adi dan mamanya melihat Tian.

“Oh..ini anaknya tante Mona ya?” Tanya mamanya pada Tian

“Iya” Anggi, Tian dan Adi menjawab bersamaan. Mamanya hanya tersenyum kecil mendengarnya, kemudian masuk ke dalam kamar Anggi. Anggi kemudian menyusul dan menutup pintu kamarnya, setelah sebelumnya menyempatkan membalik tulisan “Ada di dalam” menjadi tulisan “Jangan Ganggu” di pintu kamarnya. Adi dan Tian masuk ke dalam kamar Adi dan meneruskan film Lion Maru yang tadi sedang ditonton.

---- 0 ----

Tujuan mamanya datang malam itu selain untuk bertemu kedua anaknya, juga untuk menjual sebuah Video Game Nintendo pada papanya. Berhubung papanya sedang di Cikembar, mamanya menginap sampai papanya pulang. Selama mamanya menginap, makanan di rumah menjadi lebih enak. Mamanya memang jago memasak. Setelah papanya pulang, tidak terlalu lama kemudian mamanya pergi dari rumah itu. Papanya Adi telah membayar video game yang dijual oleh mamanya, dan memberikannya kepada Adi.

Adi senang bukan main. Sekarang dia tidak perlu menyebrang rumah untuk bermain video game. Adi tidak perlu mengeluarkan uang untuk bermain video game. Biarpun awalnya video game itu bermasalah, tapi setelah diperbaiki video game itu menjadi benda kesayangan baru Adi.

Sejak punya video game itu, Adi mulai sering mengajak teman-temannya untuk bermain di rumahnya sepulang sekolah. Kalau mereka bosan bermain video game, mereka bisa menonton film video betamax, bermain dengan mainan Adi yang banyak, atau hanya makan siang, menikmati masakan yang dibuat Adi. Ya, sejak beberapa tahun lalu keluarga Adi memutuskan untuk tidak lagi memakai jasa pembantu rumah tangga. Oleh karena itu, Adi kemudian menjadi terbiasa melakukan segala sesuatu sendiri, termasuk memasak.

Chapter Four


Chapter 4

Selama di sekolah dasar, Adi mulai mengenal berbagai macam olah raga. Mulai dari senam, voli, basket, kasti sampai sepakbola. Meskipun tidak terlalu baik dalam berolahraga karena badannya yang gemuk, Adi sangat suka olah raga. Menurutnya, berkeringat bersama teman-teman itu adalah hal yang menyenangkan.

Adi juga mulai suka menonton siaran olah raga di televisi. Beberapa tahun sebelumnya, Adi sempat terpukau oleh kehebatan tiga pemain sepak bola asal Belanda. Namun sekarang, Adi lebih menyukai sebuah tim sepak bola asal Inggris. Sejak pertama kali menonton tim tersebut berlaga, Adi menyukai gaya permainannya yang penuh semangat dan penuh kebersamaan. Mulai saat itu, tepatnya ketika Adi duduk di kelas 3, Adi menjadi penggemar tim Manchester United.

---- 0 ----

Tubuh Adi sekarang memang lebih gemuk dibandingkan waktu masih di taman kanak-kanak. Karena tubuh gemuknya, Adi mulai sering dijuluki “Ndut” oleh teman-temannya. Awalnya Adi tidak suka, tapi lama-kelamaan Adi semakin terbiasa. Hanya saja, Adi tidak suka kalau ada yang menyebutnya “Gendut” dengan nada mengejek. Adi akan sangat marah, tapi dia tidak melakukan apa-apa, hanya akan menyimpan kekesalannya di dalam hati.

Pagi ini, setelah melakukan senam pagi, seluruh anak kelas 3 telah kembali ke dalam kelas. Suasananya gaduh. Ada yang bercanda, ada yang serius membicarakan sesuatu, dan ada yang membahas tentang kejadian keluarnya cairan dari telinga salah satu teman saat senam tadi. Adi sendiri termasuk yang sedang membahas kejadian itu. Ketika sedang seru mengobrol, tiba-tiba salah seorang teman sekelas Adi yang merasa dirinya jagoan, mengejek Adi.

“Gendut, ngapain lu ngobrol aja ma anak cewek? Banci lu!” Teriaknya dari belakang, 3 bangku dari tempat Adi duduk.

Adi menoleh, melihat ke arah anak itu, kemudian berpaling dan kembali meneruskan obrolan dengan teman-temannya. Pikir Adi, tidak ada untungnya meladeni orang seperti itu.

Eh, Gendut banci, gue lagi ngomong sama lu,” kata anak itu lagi.

Adi kali ini tidak menoleh, dia berpura-pura tidak mendengar, dan tetap mengobrol dengan teman-temannya. Anak itu kemudian menghampiri Adi, mencengkeram kerah baju Adi dan mengangkatnya.

Lu nantangin gue ya?” Tanyanya.

“Lepasin gak..” Kata Adi, sedikit gemetar.

“Kalau enggak lu mau apa?”

Tiba-tiba, Adi merasa di sekelilingnya menjadi gelap. Dia merasa seperti tertidur. Saat Adi kembali membuka mata, dia melihat dirinya sedang berdiri dan terengah-engah. Temannya yang sok jagoan sudah tergeletak di lantai, meringis kesakitan, dan hidungnya mengeluarkan darah. Adi tidak mengerti apa yang terjadi. Hampir semua pasang mata melihat ke arah Adi. Anak sok jagoan itu dibantu dua temannya, keluar dari kelas. Adi kemudian duduk kembali dan mencoba mengatur nafasnya.

Lu gak apa-apa?” tanya Sasha, teman sebangkunya.

“Hah? Oh, gue gak apa-apa. Tadi ada apa ya?”

Lah…Ada apa gimana?”

“Iya, tadi si Anca kenapa berdarah gitu hidungnya?”

“Kan lu pukul. Gimana sih?”

Gue? Mukul? Ya ampun…Kok bisa?”

“Kenapa engga? Bagus lah ada yang berani ngelawan dia.”

Kata-kata Sasha seharusnya menghibur, karena itu seperti pujian. Tapi Adi terlanjur gemetar, dia takut membayangkan bagaimana kalau bapak dan kakak-kakaknya Anca datang mencari dia. Adi berpikir, pasti nyawanya tidak selamat. Dia juga masih bingung, karena dia sama sekali tidak merasa memukul anak itu. Tapi kenapa hampir semua orang merasa yakin bahwa Adi memukulnya?

---- 0 ----

Adi selamat dari ketakutannya terhadap pembalasan keluarga Anca. Ternyata keluarga Anca tidak melakukan apa yang dibayangkan Adi. Namun Adi masih belum mengerti, bagaimana dia bisa memukul Anca? Sekeras apapun dia berusaha mengingat kejadian itu, tetap saja Adi tidak bisa ingat. Lama-kelamaan, Adi melupakan kejadian itu. Anca sendiri sepertinya masih mengingat kejadian itu, karena sampai sekarang dia tidak pernah lagi mengganggu Adi.

Di pertengahan kelas 3, Adi mulai mengenal olah raga berenang. Sebagai kegiatan tambahan sekolah, Adi berenang seminggu sekali bersama teman-teman sekelasnya. Dalam waktu singkat, Adi sudah bisa berenang dengan dua gaya berbeda. Nilainya olah raga renangnya hanya kalah dengan Ira, teman sekelasnya yang memang amat pandai berenang.

Setiap selesai berenang, biasanya Adi dan teman-temannya langsung menuju kantin dan jajan. Setelah puas jajan, kalau bus penjemputnya belum datang, Adi dan teman-temannya pergi ke tempat penyewaan video game di sebelah kolam renang. Mereka menghabiskan waktu - dan sisa uang - di tempat itu.

Suatu hari setelah selesai berenang, Adi memutuskan untuk membeli roti kacang dan memakannya sambil berjalan keluar kolam renang. Setelah menunggu sebentar di halte, bus penjemput belum juga datang. Adi kemudian pergi ke tempat video game dan mulai bermain dengan serius, sambil sesekali melihat ke sekitar kalau-kalau bus penjemput datang. Game yang dimainkan ternyata cukup seru buat Adi. Cukup lama juga Adi bermain hari ini, lebih lama dari biasanya. Selesai bermain, Adi kembali ke halte, tempat dia dan teman-temannya biasa menunggu bus penjemput. Betapa terkejutnya Adi mendapati halte dalam keadaan sepi. Dia ditinggal sendirian. Adi bingung karena uangnya sudah habis, dia tidak bisa naik angkot untuk pulang ke rumah. Akhirnya Adi harus berjalan kurang lebih sejauh 4 kilometer dari kolam renang ke rumah. Sejak saat itu, Adi tidak mau lagi bermain video game setelah berenang.

Chapter Three


Chapter 3

Kini Adi sudah duduk di kelas 2 sekolah dasar. Temannya kian bertambah, menjadi jauh lebih banyak dari sebelumnya. Adi mulai lebih banyak bermain ke luar rumah ketimbang menghabiskan waktu di rumah sendirian menonton televisi atau membaca. Adi mulai sering berpanas-panasan dengan teman-temannya, bermain berbagai permainan, atau kadang hanya bermain mainan di rumah temannya. Adi mulai semakin menyukai kebersamaan, lebih dari pada saat dia masih di taman kanak-kanak.

Suatu hari, Adi terbangun sendirian di kamarnya. Tidak ada suara-suara yang biasanya terdengar, baik itu suara papanya, kakaknya, atau murid-murid papanya. Adi mulai merasa panik. Dia tidak suka sendirian. Adi turun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Adi pergi ke kamar sebelah, kamar kakaknya, dan mendapati kamar itu juga kosong, kakaknya tidak di sana.

“Paa…Giiii…Topsiiii…” Adi mulai memanggil-manggil semua orang yang dikenalnya, tapi tidak ada jawaban.

Adi menyusuri koridor menuju ruang makan. Saat melewati kamar rekan kerja papanya, dia mengetuk dan memanggil rekan papanya.

“Oom…Oom…”

Karena tidak ada jawaban, Adi mengintip ke dalam kamar melalui lubang kunci. Kamar itu kosong, tidak ada tanda-tanda ada orang di dalam. Adi melangkah ke ruang makan. Tidak ada satu orang pun di ruang makan, sesuatu yang jarang sekali terjadi karena biasanya murid-murid papanya berkumpul di ruang makan atau di ruang tamu.

Adi meneruskan memeriksa seluruh rumah. Kamar-kamar murid-murid papanya kosong, kamar pembantu kosong, ruang tamu kosong. Adi benar-benar panik. Adi mencoba membuka pintu depan, tapi ternyata pintu itu dikunci. Adi terkurung di dalam rumah.

Sekilas, tiba-tiba Adi melihat lukisan wajah anak kecil sedang menatap tajam ke arahnya. Matanya seolah mengikuti setiap gerak-gerik Adi. Karena ketakutan, Adi berteriak sambil berlari ke halaman belakang. Adi menutup pintu ke halaman belakang dan menangis sambil terduduk di sebelah boneka manusia milik kakaknya yang sedang dijemur.

Sampai kemudian, terdengar suara yang mengejutkan Adi.

“Kenapa kamu?”

“Eh? Siapa? Siapa yang ngomong?” Adi bingung dan mencari-cari sosok yang berbicara.

“Aku,” kata suara itu.

Tiba-tiba Adi merasa sesuatu menggenggam tangan kirinya. Adi menoleh, dan melihat tangannya digenggam oleh boneka manusia di sebelahnya. Boneka itu tersenyum mengerikan, dengan sorot mata tajam yang sama mengerikannya. Adi mencoba berontak melepaskan tangannya dari cengkeraman boneka itu, tapi boneka itu lebih kuat. Adi mencoba berteriak, tapi suaranya tidak bisa keluar. Hingga akhirnya Adi bisa mengeluarkan suara.

“To… To… Toloooooong!!!” Teriaknya sambil mulai menangis.

Tubuh Adi diguncang-guncang oleh boneka itu. Boneka itu semakin mendekat dan terlihat seperti ingin memakannya hidup-hidup. Adi semakin berontak, dan goncangan pada tubuhnya semakin kencang.

“Di… Adi… Bangun, Di…!” Kata sebuah suara yang Adi kenal.

Adi terbangun dengan keringat membasahi tubuh dan air mata membasahi wajahnya. Nafasnya terengah-engah. Adi melihat sekeliling. Dia berada di kamarnya, papanya duduk di sampingnya sambil memegang tangannya, dan kakaknya melihat dari ambang pintu. Adi mengalami mimpi buruk, mimpi yang mengubah Adi. Sejak saat itu, Adi benci kesendirian dan benci boneka berbentuk manusia.

Chapter Two


Chapter 2


Beberapa tahun telah berlalu sejak Adi terakhir bertemu mamanya…


Dulu Adi berbadan kurus, kini ia tumbuh menjadi seorang anak berbadan gemuk. Adi sudah lancar membaca sejak umur 4 tahun, karena kegemarannya menonton film yang disertai teks di televisi. Selain membaca, kegemarannya menonton juga membantunya mengenal kata-kata dalam bahasa Inggris. Sejak bisa membaca, berlembar-lembar koran yang dibeli papanya habis dibacanya. Adi juga mulai menyukai buku cerita bergambar milik kakaknya, dan merengek kepada papanya supaya bisa berlangganan buku cerita bergambar untuk dirinya sendiri.


Hari-hari Adi kecil agak berbeda dengan anak-anak lain sebayanya. Jika anak-anak seusianya mulai bermain bersama, belajar bersepeda, atau melakukan hal-hal lain bersama teman-temannya, Adi menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk menonton televisi dan membaca. Kalaupun bermain, dia akan bermain dengan kakaknya, pembantunya, Topsii -- anjingnya -- atau dengan murid-murid papanya yang tinggal bersama mereka.


Adi kecil mulai bersekolah di taman kanak-kanak. Sebuah pengalaman yang baru untuk Adi. Di sana dia diharuskan mengenal dan berbaur dengan anak-anak seusianya, bermain, dan bercanda bersama-sama. Awalnya memang sulit bagi Adi, tapi lama-kelamaan dia mulai bisa bermain bersama, berbagi alat permainan dengan yang lain, dan bahkan mulai berteman dekat dengan beberapa orang. Salah satunya adalah Eko. Awal kedekatan Adi dan Eko adalah saat mereka bertengkar memperebutkan ayunan. Saat itu ayunan yang tersedia hanya satu, karena yang satu lagi sedang diperbaiki. Adi yang saat itu masih lebih senang menyendiri, lebih memilih bermain ayunan sendiri sambil memperhatikan anak-anak lain bermain. Namun karena ayunannya sedang dipakai Eko, Adi kemudian marah dan langsung menghentikan ayunan yang sedang dimainkan oleh Eko. Keduanya kemudian dibawa oleh guru dan didamaikan. Tapi setelah kejadian itu, Ade dan Eko justru menjadi dekat. Pertemanan mereka hanya berlangsung satu tahun, karena di tahun berikutnya Eko sudah masuk sekolah dasar.


---- 0 ----


Besok adalah hari perayaan Natal di sekolah TK tempat Adi bersekolah. Katanya, setiap anak yang datang ke perayaan itu akan mendapat kado dari Sinterklas. Kabar kedatangan Sinterklas ke sekolah sudah didengar Adi sejak seminggu sebelumnya. Adi yang sebelumnya belum pernah melihat Sinterklas, langsung mengajukan begitu banyak pertanyaan kepada papanya.


“Pa, Sinterklas itu siapa?”


“Sinterklas itu orang baik hati yang senang membagikan hadiah bagi anak-anak Tuhan.”


“Datang dari mana?”


“Sinterklas itu dari Kutub Utara.”


“Kutub Utara? Kutub Utara di mana, Pa?”


“Kutub Utara di luar negeri.”


“Seperti apa tempatnya?”


“Tempatnya dingin, banyak salju dan es, penguin dan orang-orang Eskimo.”


“Oh, tempatnya orang Eskimo. Siterklas tahu dari mana hadiah yang semua orang mau?”


“Anak-anak tulis surat ke Sinterklas. Nanti kalau mereka baik dan tidak nakal, Sinterklas datang membawa hadiahnya saat Natal.”


“Tulis surat? Semua bisa ya, Pa? Minta apa saja bisa ya?”


“Bisa.”


Adi langsung berlari ke kamarnya dan mulai menulis surat untuk Sinterklas. Setelah selesai, surat itu diserahkan kepada papanya supaya surat itu bisa dikirim ke Sinterklas. Ketika Adi tidur, diam-diam papanya menempelkan surat Adi di depan pintu kamar, dan tersenyum saat membaca surat itu kembali…


“Untuk Sinterklas di Kutub Utara. Sinterklas yang baik, untuk hadiah Natal tahun ini, saya mau satu panda dan satu koala. Terima kasih Sinterklas. NB. Jangan lupa pohon bambu dan pohon ekaliptus yang banyak untuk makanan panda dan koala.”


---- 0 ----


Akhirnya hari yang ditunggu tiba. Hari di mana Adi akan mendapatkan hadiah dari Sinterklas untuk pertama kalinya. Dengan penuh semangat Adi berangkat ke sekolah diantar papanya, bahkan beberapa kali Adi harus menarik papanya untuk berjalan lebih cepat. Sesampainya di sekolah, Bu Guru memberitahu bahwa Sinterklas belum datang, jadi Adi bermain-main dulu dengan teman-temannya.


Saat Sinterklas datang, Adi tidak sabar menunggu di tempat duduknya, menunggu gilirannya dipanggil ke atas panggung. Matanya tidak pernah lepas dari Sinterklas dan karung yang berisi hadiah. Adi bertanya-tanya dalam hati “Di mana panda dan koalanya?” Karena serius memperhatikan Sinterklas dan karung hadiah, Adi tidak memperhatikan beberapa temannya yang turun dari panggung sambil menangis tersedu-sedu.


Giliran Adi untuk naik ke panggung. Dengan bersemangat, Adi setengah berlari menuju panggung. Saat dia berada di panggung dan hampir berhadapan dengan Sinterklas, tiba-tiba sebuah tangan menahannya dan membalikkan badannya. Seseorang yang bermuka sangat hitam, berbibir merah, berbaju yang juga hitam dengan topi hijau, berdiri di hadapan Adi. Orang itu memegang karung kosong dan sapu lidi.


“Nama kamu siapa?” Tanya orang itu.


“Sa…Saya Adi...”


“Mau apa kamu?”


“Ma... Mau ketemu Sinterklas...”


“Tidak boleh. Kamu anak nakal, anak nakal tidak dapat hadiah dari Sinterklas.”


“T...Ta…Tapi…” Adi mulai menangis.


“Anak nakal Saya bawa, tidak boleh ketemu Sinterklas," kata orang hitam itu sambil berusaha memasukkan Adi ke dalam karung dan menyentuhkan sapu lidi ke kaki Adi.


“G... Ga… Ga mau…huu..huu…” Tangis Adi semakin keras. Orang hitam itu terlihat kebingungan, lalu melepaskan Adi dan menyuruh Adi untuk segera menuju Sinterklas.


Akhirnya Adi bertemu dengan Sinterklas. Tapi Adi masih menangis tersedu-sedu. Sinterklas mencoba menenangkan Adi, tapi tangis Adi tidak berhenti. Setelah Sinterklas menyerahkan hadiah untuk Adi dan berfoto bersama Adi, Sinterklas mempersilahkan Adi turun. Adi langsung berlari ke tempat papanya duduk. Dan dari papanya, Adi akhirnya mengetahui bahwa orang-orang hitam yang jahat itu bernama Pit Hitam. Sejak saat itu Adi sangat benci dengan Pit Hitam.


---- 0 ----


Selama bersekolah di taman kanak-kanak, Adi seolah menemukan sosok “ibu baru” dalam diri ibu guru yang selama ini mengajarnya. Bu Guru sangat baik, selalu memperhatikan dirinya, selalu berbicara lembut, dan selalu tersenyum riang.


Suatu hari di awal tahun, Adi dan papanya pergi ke sebuah gedung besar. Papanya bilang, mereka akan pergi ke sebuah pesta. Bagi Adi kecil, pesta adalah tempat di mana banyak makanan enak. Adi menjadi sangat bersemangat pergi ke pesta itu.


Setibanya di gedung besar, ternyata teman-teman sekolah Adi juga datang ke pesta itu. Jadilah Adi berlari-lari dan bermain-main dengan teman-temannya. Adi kecil tidak tahu bahwa hari itu Bu Guru yang disayanginya menikah. Adi tidak tahu bahwa saat itu adalah hari terakhirnya ia melihat Bu Guru, karena Bu Guru akan pindah keluar kota mengikuti suaminya. Papa dan Bu Guru merahasiakan hal itu dari Adi, karena mereka tahu Adi akan sangat sedih.


Dan mereka benar…


Hatinya hancur saat ia tahu bahwa Bu Guru yang disayanginya tidak hadir di kelas selama beberapa hari. Adi mengerti bahwa Bu Guru akhirnya juga pergi meninggalkan dia, sama seperti mamanya.

Senin, 20 April 2009

Chapter One


Chapter 1

Keheningan di siang itu tiba-tiba berubah menjadi kegaduhan. Seorang anak lelaki yang tadinya tertidur lelap, terbangun karena suara piring pecah dan teriakan-teriakan dari suara orang-orang yang sangat dikenalnya. Seketika itu juga, anak lelaki itu menangis sekeras-kerasnya. Dia takut. Dia tidak menyukai suara-suara yang tidak enak didengar itu.

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Seorang anak perempuan yang lebih tua masuk ke dalam kamar dan kemudian menutup kembali pintu kamar tersebut. Sesaat kemudian, setengah berlari anak perempuan itu menghampiri si anak lelaki dan memeluknya dengan erat.

“Jangan takut ya Di, ada Kakak kok. Kamu jangan takut, jangan nangis,” ucapnya mencoba menenangkan anak lelaki dalam dekapannya.

Pintu kamar kembali terbuka. Seorang wanita berumur tiga puluhan memasuki ruangan sambil berteriak.

“Aku tidak tahan hidup seperti ini terus! Aku bawa si kecil!”

Wanita itu berjalan ke arah anak-anak yang saling berdekapan.

“Adi, sini sayang. Ikut Mama yuk,” ajak wanita itu, mencoba mambujuk anak lelaki yang sedang menangis di pelukan kakaknya.

Gak mau! Papaa…” jawabnya, masih sambil menangis.

“Adi, ikut Mama saja Sayang, nanti Mama beli mainan yang banyak.”

“Be... Bener?”

“Iya, Mama janji.”

Anak lelaki itu melepaskan dekapan kakaknya dan beranjak menuju wanita tersebut. Wanita itu menggendong anak lelaki itu dan segera pergi keluar rumah. Mereka berdua naik ke dalam sebuah mobil yang sepertinya sudah menunggu mereka. Saat mobil tersebut mulai bergerak, anak lelaki itu melihat dari kaca belakang mobil dan kembali menangis. Seorang pria di akhir usia tiga puluhan sedang menggendong kakaknya yang juga menangis… Dan memanggil-manggil namanya.

“Adii…! Adiii…! Jangan pergi…”

---- 0 ----

Anak lelaki itu terbangun di sebuah ruangan yang asing. Ia tertidur selama perjalanan dan terbangun di atas sebuah sofa. Matanya menjelajahi seluruh ruangan, mencoba mencari bentuk-bentuk yang dikenalnya. Ternyata itu memang sebuah ruangan yang benar-benar asing.

Ruangan tersebut memiliki tembok berwarna biru—warna kesukaannya—yang membuatnya sedikit lebih tenang. Ia mengeksplorasi setiap sentimeter dari ruangan tersebut. Ada dua pintu yang tertutup. Anak lelaki itu beranjak ke arah salah satu pintu. Ketika pintu dibuka, dia mendapati sebuah ruangan dengan tembok berwarna sama, berukuran lebih kecil dari kamar di rumahnya. Lalu ada sebuah lemari, sebuah televisi, dan sebuah tempat tidur. Ada dua orang yang sedang tertidur di sana, tanpa mengenakan pakaian.

Dia masuk ke dalam ruangan, mendekat ke arah tempat tidur, dan mencoba mengenali dua orang tersebut. Orang pertama, seorang lelaki yang tidak dikenalnya. Kulitnya putih, perutnya sedikit buncit, dengan rambut lurus yang panjang untuk ukuran seorang lelaki. Perhatiannya beralih ke orang di sebelah lelaki itu. Seorang wanita, berambut panjang dan berkulit coklat. Anak lelaki itu tersenyum, lalu merebahkan diri di sebelah wanita itu, kemudian tertidur sambil memeluknya.

“Mama,” gumamnya sebelum terlelap.

---- 0 ----

“Mama, aku mau ketemu Papa. Aku mau ketemu Kakak.”

Ga bisa Sayang. Kamu kan sudah Mama beliin mainan, kamu main aja sana.”

“Aku ga mau mainan! Aku mau ketemu Papa!”

“Kamu kok gitu? Kamu ga sayang Mama?”

“AKU MAU KETEMU PAPA!” Anak lelaki itu akhirnya berteriak. Sesaat kemudian dia menangis.

Wanita itu terdiam beberapa saat. Dia kemudian beranjak dari sofa dan menuju ke arah kamar. Anak lelaki itu tetap menangis sambil terus melihat ke arah kamar. Tak lama, wanita itu keluar dengan pria berkulit putih yang selama dua hari terus bersama mereka.

“Ayo Di, kita pulang.”

---- 0 ----

Anak lelaki itu melepaskan genggaman tangannya dari wanita itu dan berlari menuju sesosok pria berambut gelombang yang amat dikenalnya. Langkah-langkah kecilnya membuat dia membutuhkan waktu untuk mencapai sosok pria tersebut. Sementara itu, wanita berambut panjang turun dari mobil dan melihat dari kejauhan.

“Papaaa…” teriaknya.

Anak lelaki itu memeluk pria itu dengan erat. Tak lama kemudian, dia melepaskan pelukannya dan berlari masuk ke dalam rumah. Dengan setengah berlari dia menghampiri seekor anjing hitam dan langsung memeluknya. Anjing itu menjilati wajahnya, membuatnya tertawa geli karena jilatan anjingnya. Kemudian dia meninggalkan anjing itu dan setengah berlari menuju sebuah kamar di ujung ruangan. Dibukanya pintu kamar, dan dia melihat seorang anak perempuan sedang tertidur pulas di atas tempat tidur. Dia menghampiri tempat tidur dan merebahkan diri di samping anak perempuan itu.

“Kakaak…” gumamnya sebelum terlelap.

Followers

Powered By Blogger
 

Diary Of A Normal Man Copyright © 2008 Green Scrapbook Diary Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez