Selasa, 05 Mei 2009

Chapter Six


Chapter 6

Adi duduk di kelas 5. Hari itu Adi dan teman-teman sekolahnya akan mengikuti tes IQ. Dulu waktu Adi kelas 1, Adi juga pernah ikut tes IQ dan hasilnya menggembirakan. Sekarang, 4 tahun berselang, Adi kembali bersiap mengikutinya.

Seperti sebelumnya, Adi disarankan untuk sarapan pagi tetapi tidak sampai terlalu kenyang, karena kalau sampai kekenyangan daya pikirnya tidak akan optimal. Maka pagi itu Adi meminum susunya dan memakan semangkuk mi instan. Dengan perut yang sudah terisi, Adi berangkat ke sekolah dengan becak langganannya. Entah kenapa Adi enggan berjalan kaki beberapa waktu belakangan ini, padahal jarak dari rumahnya ke sekolah tidaklah jauh. Mungkin karena banyaknya rumah dengan anjing galak yang harus dia lalui, atau karena memang dia benar-benar jadi pemalas.

Sesampainya di sekolah, teman-temannya sudah ramai. Tidak lama kemudian mereka memasuki ruangan kelas dan tes dimulai. Adi dan beberapa temannya yang sudah pernah ikut tes IQ sebelumnya sudah terbiasa mengerjakan soal tes. Sementara yang lain masih harus memperhatikan petunjuk mengerjakan dari seorang wanita muda. Adi bersemangat sekali. Tes ini, berbeda dengan tes lain yang jawabannya harus mengingat apa yang tertulis di buku atau catatan, membuat Adi yang lebih senang berpikir daripada mengingat manjadi sangat bersemangat mengerjakannya.

Setelah beberapa jam, Adi dan teman-temannya telah selesai. Wanita muda yang menjadi pembimbing mengatakan hasilnya akan keluar dalam beberapa hari, dan akan diserahkan langsung ke orang tua masing-masing siswa. Dengan kata lain, orang tua mereka diharapkan hadir pada saat penyerahan nilai tes IQ.

Hari penyerahan nilai tes IQ akhirnya tiba. Adi dan Papanya menunggu giliran mereka dipanggil. Setelah kemudian akhirnya benar-benar dipanggil, Adi dan papanya maju dan duduk di hadapan seorang ibu berkerudung yang membagikan hasil tes.

“Bapak, hasil tes anak bapak bagus. Biasa juara kelas ya?” kata ibu berkerudung itu pada papanya Adi sambil menyerahkan selembar kertas hasil tes.

“Juara kelas? Cuma di kelas 2 dia juara, itu juga Cuma ranking ke-2.” Jawab papanya Adi.

“Masa sih? Anak bapak diatas rata-rata lho pak, harusnya dia bisa juara kelas.”

“Nyatanya tidak bu.”

“Apakah dia termasuk malas pak?”

“Maksudnya malas?”

“Ya maksudnya malas, sehari-hari hanya tidur, tidak pernah belajar.”

“Kalau tidur tidak, dia seharian bermain dengan teman-temannya. Kalau tidak belajar, dia memang tidak pernah belajar, kecuali mengerjakan pe-er.”

“Oh, mungkin itu masalahnya pak, kalau dia belajar mungkin dia bisa juara kelas.”

Adi yang dari tadi mendengarkan, mulai berpikir “waduh, beban lagi…” sambil terus berharap Papanya tetap memberikan kebebasan untuknya tidak selalu belajar.

---- 0 ----

Di suatu sore yang cerah, Adi sedang berjalan pulang menuju rumahnya, sehabis seharian bermain di rumah sahabatnya. Sore itu Adi memutuskan untuk mengambil jalur melewati sekolahnya. Saat sudah berada dekat dengan sekolahnya yang berada di sebelah Sekolah Menengah Pertama itu, Adi mendengar suara teriakan-teriakan. Adi penasaran dan bergegas melihat ada keramaian apa di sekolahnya. Dari balik pagar sekolah, Adi melihat puluhan orang memakai baju dan celana putih, dengan ikat pinggang yang berbeda warna. Mereka memukul dan menendang udara, mengeluarkan keringat dan meneriakkan seruan-seruan tanda semangat.

Dari deretan muka-muka berkeringat itu, tatapan Adi terhenti pada salah satu wajah yang dikenalnya. Salah seorang teman perempuannya ada disana, berkeringat, memakai baju dan celana yang sama dan berikat pinggang berwarna biru. Ira, itu namanya. Perempuan berambut pendek yang sangat dekat dengan anak-anak pria di kelasnya. Perempuan yang senang bermain kasti, voli, dan perempuan yang nilai berenangnya hampir selalu diatas Adi.

Dari sekian tahun berada dalam satu sekolah, baru kali ini Adi menatap wajah Ira dengan berbeda. Ira yang dilihatnya saat itu amat menakjubkan, membuatnya betah berlama-lama menatapnya. Saat mereka semua selesai, Adi bergegas pulang.

Esoknya, Adi menghampiri Ira dan menanyakan soal aktifitas Ira kemarin sore.

“Ira, kemarin sore ngapain di sekolahan? Pencak silat ya?”

“Itu Karate Di, bukan pencak silat.”

“Karate? Kaya Karate Kid?”

“Iya”

“Berarti lu bisa jurus bangau dong? Kaya Daniel-san?”

Ih, itu mah ngarang. Namanya juga film”

“Film? Kok film? Gue kan ngomongin soal game Nintendo”

“Iya, apalagi itu, ngayal.”

“Jadi ga ada jurus bangau?”

Gak ada.”

“Kalau nangkep lalat pakai sumpit bisa ga?”

Boro-boro, pake sumpit aja kaga bisa.”

“Kalau pecahin es balok?”

“Nah kalau itu bisa gue. Patahin gagang pompa juga bisa.”

“Wooow…”

Sejak saat itu, Adi mengidolakan Ira. Bahkan mungkin menyukainya, tapi Adi belum mengerti soal itu.

---- 0 ----

Siang itu, sebagian murid kelas 5 sudah pulang, atau setidaknya sudah meninggalkan gedung sekolah. Adi masih terduduk di dalam kelas, dengan beberapa teman kelasnya. Hari itu Adi dan beberapa temannya itu akan mendapatkan pelajaran lebih dalam rangka akan diikut sertakannya mereka dalam lomba Dokter Cilik beberapa hari kemudian. Ada 6 orang dari mereka dan hanya akan dipilih tiga. Selain Adi, ada Tasya, Indro, Ira, Bayu dan Hari.

Mereka memperhatikan guru yang menerangkan tentang langkah-langkah penanganan pertama pada kecelakaan. Tentang menangani patah tulang, luka terbuka, luka lecet dan lain-lain. Setelah beberapa jam mengikuti pengarahan, guru tersebut kmudian memberikan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh semuanya. Dan setelah itu, hasil jawabannya diperiksa dan langsung dinilai. Tiga orang yang terpilih adalah tiga orang dengan nilai paling tinggi. Tiga orang itu adalah, dalam urutan yang tidak menentukan siapa yang tertinggi, Adi, Tasya dan Bayu. Jadilah tiga anak ini diberikan jubah dokter dan sebuah buku tentang Dokter Cilik.

Tiba kemudian hari mereka mengikuti lomba Dokter Cilik. Dalam lomba itu, dengan jubah mereka, anak-anak kelas 5 dari sekolah-sekolah se-Kecamatan berlomba menjadi yang terbaik. Dengan penuh percaya diri Adi, Tasya dan Bayu melangkah masuk kedalam ruang lomba. Mereka disambut oleh seorang ibu yang kemudian meminta salah satu dari mereka berpura-pura sebagai korban. Bayu yang tidak sama semangatnya dengan kedua temannya menawarkan diri untuk menjadi korban.

Pertanyaan pertama dari ibu itu adalah bagaimana jika Bayu mengalami luka sepanjang 10 cm? Ibu itu menggambar garis lurus pada lengan Bayu sebagai perumpamaan luka. Tasya dengan segera mengambil kapas dan obat antiseptic dan mencoba mengoleskan pada lengan Bayu. Tapi kemudian Adi mencegahnya.

“Jangan dulu, kita cuci dulu lukanya.” Kata Adi.

“Langsung aja, nanti keburu infeksi.”

“Kalau ada kotorannya gimana?”

“Kalau airnya kotor gimana? Kan malah tambah parah.”

“Iya juga ya…kalau ga ada air bersih gimana ya? Kemarin kan ga dikasitau sama Ibu itu.”

Akhirnya Tasya dan Adi sibuk berdebat dan tidak mengobati Bayu sama sekali. Ibu tadi memperhatikan dan tersenyum. Kemudian Ibu itu mengatakan sesuatu.

“Begini ya adik-adik. Kalau luka sepanjang ini, kamu lihat dulu lukanya dalam atau hanya goresan biasa. Kalau dalam, sebaiknya memang dibersihkan dulu, dan membersihkannya memakai alcohol. Kalau tidak ada, bersihkan pakai kapas juga bisa. Baru kemudian diberikan obat antiseptic dan lukanya ditutup.” Kata ibu itu.

Setelah berkata itu, Adi, Tasya dan Bayu keluar ruangan dengan lesu. Mereka tahu bahwa karena kebodohan mereka maka sekolah mereka sudah pasti tidak akan memenangkan lomba ini. Dan ternyata mereka memang tidak memenangkan lomba tersebut. Tapi pengalaman menjadi Dokter Cilik, memakai jubah dan menjadi perwakilan sekolah, tidak akan dilupakan oleh Adi.

Followers

Powered By Blogger
 

Diary Of A Normal Man Copyright © 2008 Green Scrapbook Diary Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez