Kamis, 11 Juni 2009

Chapter Eight


Chapter 8

Adi sekarang duduk di kelas 1 Sekolah Menengah Pertama. Hari ini adalah hari pertamanya di sekolah baru. Setengah dari teman sekelasnya di Sekolah Dasar masuk ke sekolah yang sama. Tapi beberapa hari yang lalu Adi mendatangi sekolah barunya dan mendapati bahwa ia hanya sekelas dengan dua teman Sekolah Dasarnya. Adi gugup sekali pagi itu, pagi sebelum berangkat ke sekolah. Adi gugup karena harus bertemu banyak orang baru.

Adi duduk di meja makan. Di depannya ada segelas susu coklat dan roti isi coklat. Adi memakan rotinya perlahan-lahan, seperti orang yang kehilangan semangat hidup, tidak bersemangat manyambut hari baru. Kakaknya yang bersekolah di Sekolah Menengah Swasta yang lokasinya di daerah Jakarta Pusat, dekat dengan kantor papanya, sudah berangkat bersama papanya lebih pagi, saat Adi masih bersiap-siap mengenakan seragam baru.
“Di, cepetan sarapannya, nanti terlambat” ujar Bi Asih, pembantunya.
“Masih lama Bi, masih setengah jam lagi” jawab Adi.
“Kan nanti jalan kaki Di, harus dihitung waktunya, beda sama kamu naik becak waktu SD kemarin Di”
“Iya Bi, cerewet ah. Week” Adi menjulurkan lidahnya.
Adi meneruskan memakan roti isi coklatnya sampai habis. Kemudian ia meminum susu coklatnya sebanyak seteguk, kemudian terhenti.
“Biiii….susunya masih panas nih! Minta es batu dong” teriak Adi pada Bi Asih yang sudah berada di belakang rumah.
“Ada di kulkas Di, ambil sendiri aja, bibi lagi rendam cucian nih” sahut Bi Asih.
“Huuuh” Adi beranjak dari tempat duduknya sambil menggerutu untuk kemudian mengambil es batu dari lemari es. Adi memasukkan 4 butir es batu dan mengaduk susunya. Setelah dingin, Adi menghabiskan susunya dan kemudian mengambil tas dan berangkat sekolah.

Sesampainya di sekolah, Adi membeli siomay di depan sekolah. Adi sangat gugup sehingga merasa harus makan untuk menenangkan dirinya. Sangat berbeda dengan di rumah, dimana Adi tidak semangat menghabiskan rotinya. Selesai makan, Adi menyempatkan membeli es teh manis dari tukang es langganannya, yang biasa berjualan di sekolahnya yang lama. Tidak lama kemudian, bel berbunyi, tanda masuk sekolah. Adi setengah berlari menuju kelas barunya. Sebelum memasuki ruangan kelas, mereka diharuskan berbaris. Dari tempatnya berdiri, Adi bisa melihat murid kelas lain yang juga berbaris di depan kelas masing-masing. Satu orang menarik perhatian Adi, satu orang dari kelas sebelah, satu orang anak perempuan berambut panjang dan bergelombang. “Manis” kata Adi dalam hati sambil terus memperhatikan anak perempuan itu memimpin barisan kelasnya. Perhatiannya terhenti saat Adi harus masuk ke dalam kelas.

Saat istirahat, semua murid baru diwajibkan mengikuti open house kegiatan ekstra kurikuler sekolah. Kegiatan yang ditawarkan adalah Unit Kesehatan Sekolah, Pramuka, Paskibra, Perkumpulan Ilimiah, Rohani Islam, Rohani Kristen dan Karate. Awalnya, karena melihat anak perempuan berambut panjang dari kelas sebelah mengambil kegiatan UKS, Adi tertarik mengambil kegiatan yang sama. Sampai kemudian Adi melihat meja kegiatan karate di pojok yang terhalang oleh murid-murid yang berkerumun di meja Pramuka. Adi kemudian membuang formulir pendaftaran UKS dan beranjak menuju meja kegiatan Karate. Adi mendaftar, menjadikan karate sebagai kegiatan ekstra kurikulernya. Adi masih merasa harus terus lebih baik dari Ira, yang sekarang tinggal di Semarang.

---- 0 ----

Malamnya, Adi sedang bersiap-siap kembali ke sekolah. Malam ini adalah melem pertama berlatih karate. Sesuai instruksi yang didapatnya saat mendaftar tadi siang, malam ini latihan pertama, dan selanjutnya akan rutin setiap senin dan kamis malam. Adi menyiapkan training Adidasnya, karena menurut instruksinya, untuk latihan pertama ini bagi yang belum memiliki Gi (seragam) karate boleh memakai kaos dan celana training. Setelah semuanya siap, Adi bergegas berangkat. Lima teman Sekolah Dasarnya juga mengikuti kegiatan yang sama, termasuk Jupri. Adi kemudian menunggu Jupri di belokan dekat rumahnya. Tidak lama kemudian Jupri keluar diantar oleh mamanya. Adi diajak ikut masuk kedalam mobil yang mengantar Jupri dan mamanya.

Pada latihan pertama ini, Adi dan peserta lainnya dijelaskan mengenai sejarah karate, tingkatan dalam karate yang ditandai dengan warna sabuk, dikenalkan pada sensei atau pelatih karate, dan sedikit latihan gerakan dasar. Adi melihat beberapa muka yang dikenalnya. Beberapa kakak kelasnya yang sudah mengenakan sabuk kuning, dan ada juga adik kelas Sekolah Dasarnya, teman sekelas Titin, sudah memakai sabuk hijau. Untuk pertama kali juga Adi diharuskan melakukan push-up dengan kepalan tangan, bukan dengan tumpuan telapak tangan seperti biasanya. Adi juga harus melakukan sit-up, pull-up, mencoba untuk melakukan split, dan berlatih mempertahankan posisi kuda-kuda selama puluhan menit. Semuanya membuat Adi merasakan pegal pada tubuhnya saat selesai latihan. “Sesuatu yang menyenangkan” pikir Adi sesaat sebelum beranjak tidur.

---- 0 ----

Hari selasa minggu depannya, Adi sedang mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia. Hari itu harusnya semuanya mengumpulkan pekerjaan rumah yang diberikan Bu Guru. Tapi Adi tidak menyerahkan pekerjaan rumahnya karena Adi tidak mengerjakannya sama sekali. Adi terlalu lelah berlatih karate sehingga sepulangnya latihan Adi tertidur dan tidak sempat mengerjakan pekerjaan rumah tersebut. Adi kemudian dipanggil oleh Bu Guru ke depan kelas bersama beberapa temannya yang juga tidak mengerjakan pekerjaan rumah.
“Kenapa kamu tidak mengerjakan PR kamu?” Tanya Bu Guru pada Lukman, temannya.
Adi tahu Lukman juga kelelahan ikut karate sehingga tidak mengerjakan pekerjaan rumah.
“Buku saya ketinggalan Bu, saya sadarnya waktu mau mengerjakan tadi malam” jawab Lukman, berbohong.
“Alasan saja kamu…Ibu paling tidak suka sama anak pemalas. Sana, kamu berdiri di luar dengan satu kaki dan kedua tangan di telinga. Cepat.” Perintah Bu Guru. Terdengar beberapa murid tertawa kecil saat Lukman melangkah keluar dan mulai mengambil posisi seperti yang disuruh Bu Guru.
“Kamu, gendut, kenapa tidak mengerjakan PR?” Tanya Bu Guru pada Adi.
“Saya ketiduran Bu, semalam saya latihan karate dan kecapean, jadi pulang latihan saya tidur” diajarkan untuk tidak berbohong oleh papanya maka Adi menjawab sejujur-jujurnya.
Bu Guru tertawa. Menertawakan penjelasan Adi.
“Jangan bohong kamu. Gendut begitu ikut karate, mana bisa. Sana, keluar kelas, berdiri satu kaki, dua tangan di telinga. Cepat” perintah Bu Guru yang diikuti tawa lepas dari seluruh isi kelas.
Adi menuruti, dan dengan langkah bergetar berjalan keluar ruangan kelas. Berdiri di sebelah Lukman yang juga menertawakan kepolosan Adi, dan mengambil posisi seperti yang diminta. Berturut-turut kemudian keluar 2 orang lainnya, yang tidak diikuti tawa seluruh murid. Hanya alasan Adi yang ditertawakan.

---- 0 ----

Adi menemukan olahraga baru yang digemarinya di sekolah baru ini. Teman-teman sekelasnya sangat senang bermain basket, olahraga yang belum pernah Adi mainkan selama ini. Adi kemudian kembali membuka buku teori olah raga Sekolah Dasar dan mencari tahu tentang olah raga yang satu ini. Selain itu, Adi juga belajar pada Andi yang sudah jago bermain basket, meskipun tubuhnya lebih pendek daripada Adi. Dalam waktu yang tidak lama, Adi mulai menguasai tehnik dasar bermain basket. Lemparan bolanya juga sangat bagus. Lumayan untuk menutupi kekurang-lincahan tubuhnya yang gendut.

Selain bermain basket, Adi juga mulai mengikuti perkembangan berita NBA. Hampir semua temannya sangat menggemari Michael Jordan atau Magic Johnson saat itu. Tapi berbeda dengan Adi, dia lebih menyukai nama-nama seperti Larry Bird, John Stockton, Chris Mullin, Shawn Kemp dan Charles Barkley. Bahkan karena sangat menggemari seorang Charles Barkley, disaat ada temannya yang membeli sepatu Michael Jordan, Adi juga meminta dibelikan sepatu Charles Barkley pada papanya. Hanya saja, berhubung harga sepatu yang mahal, papanya tidak membelikannya. Akhirnya Adi menerima saja dibelikan sepatu basket Nike bekas.

---- 0 ----

Sudah beberapa waktu ini Kakeknya Adi dirawat dirumah sakit. Kakeknya diterbangkan dari kampung halaman ke Jakarta agar menerima perawatan yang lebih baik. Sakit yang diderita Kakeknya menyebabkan Kakeknya tidak dapat berjalan, dan bahkan sulit sekali untuk berbicara.

Beberapa kali Papanya Adi menginap di rumah sakit untuk menjaga Kakeknya. Adi yang juga ingin ikut menjaga Kakeknya, selalu dilarang oleh Papanya, sehingga jika Papanya menginap di rumah sakit maka Adi akan menginap di rumah Tantenya.

Setelah berbulan-bulan melawan penyakitnya, akhirnya Kakeknya Adi menyerah. Pada hari senin pagi, saat anak-anak dan cucu-cucunya sibuk beraktifitas, kecuali satu orang cucunya yang menemani, Kakeknya Adi pergi meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Berita kepergian Kakeknya segera tersebar dengan cepat. Sehingga siang itu, saat Adi sedang belajar, Papanya datang ke sekolah dengan tujuan menjemput Adi pulang. Papanya tidak mengatakan apa-apa sepanjang perjalanan pulang. Bahkan selama perjalanan ke rumah Tantenya Adi, tempat dimana jenazah disemayamkan. Adi baru mengetahui tentang kepergian Kakeknya saat tiba di rumah Tantenya. Adi menangis sekeras-kerasnya. Adi tidak percaya bahwa orang yang disayanginya, orang yang dikaguminya, kembali pergi meninggalkan dia. Meninggalkan dia yang mulai merasa bahwa pada akhirnya dia akan hidup sendirian….

---- 0 ----

Di pertengahan September, seluruh murid mendapat kabar yang agak mengejutkan. Sekolah mereka akan direnovasi sehingga untuk sementara waktu mereka akan menumpang belajar di sebuah Sekolah Dasar yang jaraknya agak jauh dari rumah Adi. Untuk mencapainya memang hanya butuh satu kali naik angkutan umum, tapi naik angkutan umum sendirian adalah pengalaman baru bagi Adi. Adi ragu apakah ia bisa. Namun karena hal tersebut sudah diputuskan, maka Adi dan seluruh murid menerima dan akan menjalaninya.

Ternyata, Adi bisa naik angkutan umum sendiri. Namun disini mulai muncul masalah baru. Karena tidak mau untuk berdiri bergantungan di pintu mobil angkutan, maka Adi selalu berusaha mendapatkan angkutan dimana ia bisa duduk. Jika selalu penuh, maka Adi memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Hal ini sering terjadi, sehingga menyebabkan banyaknya ketidak hadiran Adi di sekolah. Pihak sekolah kemudian memanggil orangtua Adi.

“Begini pak, alasan pihak sekolah memanggil bapak adalah menyangkut banyaknya ketidak hadiran putra bapak” kata Bu Guru wali kelas pada papanya Adi.
“Oh ya? Saya kira 5 hari masih masuk akal Bu, dan lagi tidak masuknya kan karena sakit. Ada suratnya kan?” jelas papanya Adi yang sepertinya heran.
“Pak, putra bapak memang 5 hari sakit, itu ada dalam catatan saya. Tapi putra bapak juga punya 12 absen tanpa keterangan di bulan ini saja. Bagaimana bapak menjelaskannya?”
Papanya Adi terkejut, dia tidak mengetahui tentang anaknya sering tidak masuk sekolah selain disaat dia benar-benar sakit.
“Betul itu Adi?” Tanya papanya pada Adi. Adi mengangguk pelan sambil terus menunduk, tidak berani menatap papanya atau Bu Guru wali kelas.
“Kenapa nak?” Tanya papanya lagi.
“Aku sering ga dapat mobil Pa. Daripada dihukum karena terlambat, lebih baik aku ga masuk” jelas Adi sambil terus menunduk.
“Adi, kalau tidak dapat mobil, kamu kan bisa naik bajaj sama mang Ikin. Bilang saja sama dia bayarnya nanti sama papa. Jangan bolos lagi ya nak” kata papanya. Adi mengangguk pelan.
“Janji Di?” desak papanya. Adi menatap papanya.
“Iya Pa” jawab Adi.
“Ya sudah, kamu masuk kelas sana, papa mau bicara sama Bu Guru”
Adi kemudian keluar ruangan guru dan memasuki kelasnya yang sudah ramai memulai pelajaran tata busana. Kain handuk berhamparan di setiap sudut kelas karena materinya adalah membuat pola baju mandi dari bahan handuk. Adi segera bergabung dengan teman satu kelompoknya yang sudah mulai memotong kertas kopi tempat menggambar pola.

---- 0 ----

Malam itu, keadaan rumah sedang tegang. Papanya Adi cemas luar biasa karena kakaknya sampai malam hari belum pulang sekolah. Tidak seperti biasanya, dimana kalau hendak pergi sepulang sekolah, kakaknya biasanya akan datang ke kantor papanya sambil minta izin. Tapi hari itu tidak dan papanya berpikir kalau kakaknya Adi langsung pulang ke rumah. Betapa terkejutnya papa Adi saat mendapati anak pertamanya tidak dirumah saat ia pulang kantor.

Adi kebagian tugas sibuk menghubungi teman-teman kakaknya melalui telepon, menanyakan apakah ada yang mengetahui keberadaan kakaknya. Tapi hasilnya nihil. Adi kemudian berinisiatif memeriksa kamar kakaknya, siapa tahu ada nomor telepon temannya yang tidak ditulis di buku telepon. Adi memeriksa tumpukan buku harian dan kertas milik kakaknya. Saat sedang membuka-buka buku harian kakaknya, Adi mendapati sesuatu yang menarik, sesuatu yang mungkin bisa membantu menemukan kakaknya. Adi membawa buku harian itu dan segera menghampiri papanya, yang sedang duduk mengobrol dengan kakak sepupunya, yang kebetulan tinggal bersama mereka.
“Papa, lihat ini Pa” kata Adi sambil menunjukkan sesuatu yang terselip diantara lembaran buku harian.
“Apa ini Di?” Papanya Adi heran. Kakak sepupunya mendekat untuk melihat benda itu.
“Surat Pa, dari Mama” jawab Adi.
“Dari Mama?” Tanya papanya kaget. Dengan segera papanya membuka dan membaca isi surat itu. Kakak sepupunya ikut membaca disebelah papanya Adi. Sesaat kemudian, papanya Adi membolak balik amplop surat, mencari alamat pengirimnya. Tapi tidak menemukannya.
“Mungkin dia ke rumah mamanya Om” Kakak sepupunya Adi berkata setelah ia selesai membaca surat tersebut.
“Iya, tapi kemana? Tidak ada alamat pengirimnya” kata papanya Adi sambil terus memperhatikan isi surat, seolah-olah memastikan tidak ada satu katapun yang terlewatkan.
“Kita ke rumah Erik saja Pa, sahabatnya kakak,siapa tahu dia bisa kasih tahu kita” usul Adi.
“Kenapa ga telepon aja Di?” Tanya kakak sepupunya.
“Erik ga pasang telepon, dia di Jakarta numpang sama omnya” jelas Adi.
“Kamu tahu rumahnya Erik Di?” Tanya papanya.
“Iya”
“Ayo berangkat sekarang saja Om. Ayo Di” ajak kakak sepupu Adi.
Maka pergilah mereka bertiga mencari kakaknya Adi ke rumah Erik, sahabat kakaknya Adi. Mereka naik mobil kakak sepupunya. Sesampainya di rumah Erik, Adi dan Papanya yang turun, sementara kakak sepupunya menunggu di mobil. Beruntung kakaknya Adi pernah menceritakan tentang rencana kakaknya Adi menemui mamanya kepada Erik. Beruntung juga Erik sempat mencatat alamat rumah mamanya, karena Erik pernah menemani kakaknya Adi pergi menemui mamanya. Setelah mendapat alamat mamanya, Adi, papanya dan kakak sepupunya, bergegas menuju alamat yang dimaksud. Kali ini perjalanan agak jauh, sehingga sepupunya Adi menyempatkan untuk mengisi bahan bakar kendaraan terlebih dahulu.

Sesampainya di alamat rumah yang dicari, papanya Adi langsung turun bahkan sebelum mobil sempat diparkir. Kakak sepupunya kemudian membatalkan niat memarkir mobil dan ikut turun. Adi mengikuti dibelakangnya. Papanya Adi mengetuk pagar rumah dengan gembok yang tergantung dip agar. Sementara Adi dan kakak sepupunya melihat-lihat kalau-kalau ada yang mengintip dari jendela. Tidak lama, seorang perempuan tua keluar, menghampiri mereka.
“Selamat malam Bu” sapa papanya Adi pada perempuan tua itu.
“Malam Pak. Ada perlu apa ya?”
“Bu Rosi ada Bu?”
“Bu Rosi? Ada Pak. Bapak siapa ya? Keluarganya atau…?”
“Saya Suaminya. Maksud saya, saya suami pertamanya”
“Oh. Sebentar ya Pak, saya beritahu Bu Rosi dulu”
Perempuan tua itu kembali masuk, tanpa membukakan pintu gerbang sama sekali. Rumah yang dimasukinya cukup besar, tidak mempunyai halaman seluas halaman rumah yang Adi tempati, tapi mungkin luas rumahnya sama. Rumah bercat warna gading dan berlantai dua itu terlihat sempit karena hampir tidak adanya halaman. Tidak lama, sesosok perempuan tampak berdiri di pintu.
“Papa?” Tanya si empunya sosok yang tak lain adalah kakaknya Adi.
“Kok bisa kesini? Tahu dari mana? Baru aja Anggi mau pulang” lanjutnya.
“Dari Erik kak, Erik yang kasitau” jawab Adi karena papanya tidak menjawab.
Tak lama kemudian, perempuan tua yang sebelumnya kembali keluar. Kali ini menenteng kunci dan kemudian membukakan pintu pagar agar Adi, papanya dan kakak sepupunya bisa masuk ke halaman rumah.
“Bu Rosi mana? Saya mau bicara” kata papanya Adi kepada perempuan tua itu.
“Ada di dalam Pak, sedang istirahat” jawab perempuan tua itu.
“Panggil dia” kata papanya Adi sambil masuk ke dalam rumah.
“Kamu semua tunggu disini” lanjut papanya Adi saat Adi dan kakaknya hendak ikut memasuki rumah itu juga. Adi dan kakaknya menurut dan menunggu di luar bersama kakak sepupu mereka.
Setelah beberapa saat, papanya Adi keluar membawa tas Anggi dan menyuruh mereka semua bergegas pulang. Maka mereka berempat segera memasuki mobil dan pulang kerumah. Didalam mobil, papanya Adi menasehati Anggi. Papanya Adi mengatakan” tidak apa kalau mau bertemu mama, asalkan papa dikasitau, jangan sampai papa cemas begini berpikiran kamu kenapa-kenapa di jalan.”
Anggi mengangguk tanda menyetujui. Di tengah perjalanan, mereka menyempatkan diri mampir di sebuah restoran seafood dan makan malam disana. Adi sangat suka seafood, biarpun jika terlalu banyak memakan udang maka langit-langit rongga mulutnya akan terasa gatal.

---- 0 ----

Senin, 01 Juni 2009

Chapter Seven


Chapter 7

Adi duduk di kelas 6, kelas terakhir dalam sekolah dasar. Adi mendapat dua teman baru di kelas ini, mereka adalah murid pindahan dari sekolah lain. Pertama ada Ichsan, anak seorang kaya yang bandel, kulitnya sawo matang, rambutnya ikal. Lalu ada Haris, anak berkulit putih dan pendiam.

Sejak awal kehadirannya, Ichsan selalu berusaha menjadi pusat perhatian. Selalu berbicara dengan suara yang keras, tertawa dengan keras, sehingga membuat seisi kelas bisa mendengar suara yang keluar dari mulutnya. Ichsan juga langsung menunjukkan kenakalannya dengan membawa rokok kedalam ruang kelas. Kalau sedang istirahat, dia akan menghisapnya bersama dengan Jupri, entah itu di pojokan kelas atau di toilet. Kenakalan Ichsan tidak hanya sampai disitu. Dengan rokoknya, dia senang menyundut apapun yang dia mau. Dia membuat lubang di baju beberapa temannya, lubang di tasnya dan tas teman-temannya, bahkan suatu kali dia menyundut lengan Jupri. Jupri yang dianiaya seperti itu diam saja, entah karena apa dia diam saja. Adi merasakan, sejak kehadiran Ichsan, Jupri sudah jarang sekali bermain dengannya, dan memilih bermain dengan Ichsan.

Haris, dari awal sangat pendiam. Senang mendengarkan orang lain mengobrol, tapi dirinya hampir tidak pernah mengeluarkan suara untuk ikut mengobrol. Haris dan Ichsan sama-sama tidak terlalu menonjol dalam pelajaran, bahkan mereka sangat tertinggal. Haris kemudian menceritakan kenapa dia terlihat sangat tertinggal dari yang lainnya. Menurut pengakuan Haris, dirinya sebenarnya sempat berhenti sekolah di kelas 5 selama lebih dari 2 tahun, dan karena bantuan kepala sekolah dirinya dimasukkan ke kelas 6 padahal seharusnya dirinya masih di kelas 5. Mendengar itu, Adi dan sahabatnya, Rahman dan Tasya, setiap hari secara bersamaan ataupun bergantian, mencoba mengajarkan Haris setiap mata pelajaran yang tidak dimengertinya.

Usaha mereka pada awalnya menunjukkan hasil, nilai-nilai Haris mulai membaik. Haris sudah mulai bisa mengikuti pelajaran dengan baik, jauh meninggalkan Ichsan yang masih sering tertinggal. Tapi pada akhirnya, usaha mereka berujung pada suatu yang mengecewakan mereka. Haris kembali harus berhenti dari sekolah itu di pertengahan tahun ajaran, Haris memutuskan untuk bekerja membantu orang tuanya ketimbang menghabiskan waktunya di sekolah.

---- 0 ----

Sejak pertama melihat Ira berlatih karate, Adi semakin sering pergi ke sekolah di sore hari hanya untuk melihat Ira berlatih. Tidak hanya sering melihat Ira latihan karate, Adi juga mulai sering memperhatikan Ira dalam berbagai hal. Mulai dari saat berenang, jam pelajaran olah raga, di dalam kelas, saat istirahat sampai saat pulang. Adi melihat Ira sebagai sosok perempuan yang menakjubkan. Bisa mengalahkan laki-laki dalam banyak hal, mulai dari nilai pelajaran, olah raga, sampai ke permainan yang biasanya dilakukan laki-laki. Adi selalu berusaha mengalahkan Ira dalam berenang, tetapi Ira selalu lebih unggul dan mendapat nilai tertinggi. Begitupun dalam pelajaran, Adi tidak pernah bisa mengalahkan Ira yang selalu mendapat peringkat yang baik di kelas, bersaing dengan Indro, Tasya dan Bayu.

Satu-satunya hal dimana Adi lebih unggul dari Ira adalah dalam pelajaran tambahan bahasa Inggris, yang mulai dijadikan pelajaran tambahan sejak kelas 5. Karena punya kelebihan dalam bahasa Inggris itulah akhirnya Adi bisa lebih sering berbicara dengan Ira. Ira, Rahman, Tasya, Bayu dan Indro sering meminta bantuan Adi dalam mengerjakan soal-soal bahasa Inggris, dan Adi dengan senang hati membantu mereka.

Suatu siang saat sedang menunggu bel pulang sekolah, Adi sedang mengobrol dengan Tasya dan Rahman. Beberapa teman Adi berada di luar kelas, karena kebetulan guru pelajaran terakhir tidak masuk hari itu, jadi keadaan kelas memang sedikit kacau. Sedang seru-serunya mengobrol, perhatian mereka teralihkan oleh kedatangan Bayu, sang ketua kelas, yang memanggil anak-anak laki-laki untuk berkumpul di luar kelas. Dengan berat hati, Adi dan Rahman menuruti kemauan Bayu. Hampir semua anak laki-laki berkerumun si sudut sekolah, sepertinya serius mendengarkan seseorang yang mereka kerumuni. Adi yang penasaran berusaha untuk melihat siapa yang berbicara kepada semuanya, dan setelah bersusah payah Adi melihat yang ada di tengah kerumunan itu adalah Indro.

“Jadi gitu, dia ngancem mau nyerang sekolah kita” kata Indro.
“Kita serang aja duluan, ngapain takut” balas Ichsan.
“Iya, kita duluan aja yang samperin, kan kita pulang duluan daripada mereka” Bayu menimpali
“Tar dulu dong, yakin ga nih mau nyerang duluan? Lo sih enak Bay, belajar kungfu dari kecil, lah yang lain?” kata Indro
“Lo kan karate Dro, gimana sih, masa takut” bayu menjawab Indro
“Gue sih oke aja, yang lain gimana Bay?”
Hampir semua dari yang berkerumun menjawab “Setuju!”. Adi dan Rahman yang masih bingung dan tidak tahu apa permasalahannya mencoba mencari tahu.
“Ada apa sih Bay? Nyerang siapa? Mau berantem ya?” Tanya Adi pada Bayu.
“Anak SD komplek sebelah mau nyerang kita, gue juga ga tahu kenapa mereka mau nyerang, tapi kalau mang mau mereka begitu gue ga bisa diem. Lo ikut aja, kita serang duluan” jawab Bayu.
“Ooh. Malas ah, ga jelas kenapanya” kata Adi sambil beranjak kembali ke dalam kelas. Rahman mengikuti dibelakangnya.

Tidak lama kemudian, bel pulang sekolah berbunyi. Anak-anak laki-laki berebutan masuk untuk mengambil tas dan kemudian keluar lagi.
“Anak cewek yang pulang lewat komplek sebelah mendingan tunggu agak siang dikit pulangnya. Atau kalau enggak, pulang lewat jalan lain ya” kata Bayu sebelum meninggalkan ruangan kelas.
“Ada apa sih Di?” Tanya Tasya.
“Anak-anak mau berantem sama sekolah komplek sebelah”
“Loh, kenapa?”
“Gak tau Sya, alesannya ga jelas. Katanya sekolah kita mau diserang, jadi anak-anak mau nyerang duluan”
“Lo kenapa ga ikut?”
“Males gue Sya, ga jelas berantemnya buat apa”
“Oh..takut lo ya? Hehehe…” kata Tasya sambil mencubit tangan Adi.
“Enak aja. Gue ga ikut ya karena gue males aja berantem buat sesuatu yang ga jelas”
Adi kemudian teringat kejadian beberapa waktu yang lalu di rumahnya. Pagi minggu itu Adi disuruh memandikan anjingnya. Adi tidak suka dengan anjing yang ini, entah kenapa, karena biasanya Adi sangat menyayangi anjing. Mungkin karena anjing ini pernah menggigit Indro dan Agung beberapa minggu yang lalu. Kekesalan Adi pada anjing itu belum hilang. Saat sedang memandikan anjing itu dengan air dalam satu baskom besar, anjing itu berontak dan menggigit tangan Adi. Seketika itu juga kegelapan memenuhi Adi. Keadaannya sangat gelap dan hampa. Ketika tersadar, papanya sedang mengguncang tubuh Adi yang basah kuyup.
“Kenapa kamu Di?” Tanya papanya.
“Hah? Ga kenapa-kenapa” jawab Adi yang masih bingung.
“Terus kenapa kamu tadi cekik Topsi di dalam baskom? Kamu mau bunuh dia?” kata papanya dengan nada yang lebih tinggi.
Adi terkejut. Adi tidak mengingat sama sekali tentang dia mencekik anjingnya di dalam baskom. Yang dia ingat hanyalah semuanya tiba-tiba menjadi gelap.
“Adi…Adi…ngelamun lo?” Tanya Tasya sambil menepuk-nepuk pundak Adi dan membuyarkan lamunannya.
“Eh, engga” jawab Adi.
“Pulang ga lo? Gue mau pulang nih, gue kan ga lewat komplek sebelah”
“Nanti dulu deh Sya, gue mau nunggu yang lain dulu”
“Ya udah, gue duluan ya” Tasya beranjak pergi.
“Sya, Ira mana ya? Lihat ga?” Tanya Adi saat Tasya mencapai pintu kelas.
“Ira? Ira kan tadi ikut anak-anak cowok. Lo kaya ga kenal Ira aja” jawab Tasya sambil meninggalkan kelas, meninggalkan Adi yang mulutnya menganga, Adi yang menyesal tidak ikut menyerang sekolah komplek sebelah bersama Ira, menyesal terlihat seperti cowok lemah dimata Ira, perempuan yang Adi sukai.

---- 0 ----

Keesokan harinya, orang pertama yang dicari oleh Adi adalah Ira. Adi mau mendengar cerita Ira tentang penyerangan sekolah komplek sebelah.
“Ira, gimana kemaren?” Tanya Adi.
“Apanya yang gimana Di?” jawab Ira sambil membetulkan posisi celana olah raganya.
“Kemaren, sekolah komplek sebelah….gimana berantemnya?” Tanya Adi kembali sambil meletakkan tasnya.
“Berantem? Siapa yang berantem? Gue kemaren ga berantem kok” Ira mengencangkan ikatan tali sepatunya.
“Lho, bukannya lo kemaren ikut anak-anak cowok mau nyerang sekolah komplek sebelah?” Adi ikut-ikutan mengencangkan tali sepatu.
“Enggak tuh, gue kemaren langsung pulang. Anak-anak juga ga ada yang berantem, mereka ke rumah Bayu katanya”
“Oh. Kirain lo ikut mereka karena mau nyerang sekolah komplek sebelah”
“Gue ikut mereka karena rumah gue kan lewat komplek sebelah, seru aja kalau pulang rame-rame. Kenapa sih lo serius banget nanyain soal berantem?”
“Ah ga apa-apa”
Bel tanda masuk berbunyi, Adi dan Ira, bersama teman-teman lainnya segera meninggalkan ruangan kelas, karena jam pelajaran pertama mereka hari itu adalah olah raga.

---- 0 ----

Pagi itu, Adi sedang belajar bersama Tasya. Adi dan Tasya di kelas 6 memang duduk satu meja. Kemudian datang Dwi, mengajak Tasya untuk mengobrol.
“Lihat deh tuh anak cowok, pada gila semua” kata Dwi sambil menunjuk ke sekelompok anak kelas enam di bagian belakang kelas.
“Kenapa Dwi?” Tanya Tasya yang bingung dengan maksud Dwi. Adi juga tak kalah bingungnya.
“Pada ngintipin celana dalamnya Titin, anak kelas 5” jelas Dwi.
“Haah?!” Adi dan Tasya sama-sama terperangah.
“Masa sih Wi?” Tanya Tasya sambil menahan tawa.
“Titin itu yang mana ya?” Tanya Adi pada Dwi, bersamaan dengan pertanyaan Tasya.
“Iya Sya..Titin, yang putih, rambut panjang..yang paling cakep itu lho Di” kata Dwi mencoba menjawab keduanya.
“Apa enaknya coba ngelihatin celana dalam orang?” Tanya Tasya terheran dengan sikap anak laki-laki di kelasnya.
“Tau deh”
“Penasaran gue” kata Adi yang kemudian beranjak menuju tempat gerombolan anak laki-laki itu.
“Huu..dasar lo Di, sama aja” kata Tasya diikuti tawanya, menertawakan Adi. Dwi juga ikut menertawakan Adi.
Kelas 6 dan kelas 5 hanya terpisah oleh papan-papan kayu. Beberapa papan membuat celah, sehingga cukup banyak lubang untuk mengintip ke ruangan sebelah. Adi kemudian menuju lubang terdekat dengan lubang yang diperebutkan anak-anak lainnya. Posisi lubang yang dipilih Adi memang agak sulit dijangkau, karena terhalang kursi yang dipakai oleh Indro. Berhubung Indro sedang asik berebut lubang lain yang tidak terhalang apapun, Adi menggeser kursi Indro dan mencoba melihat melalui lubang tersebut.

Adi mendapati lubang ini tidak tepat berada di hadapan Titin, sehingga Adi tidak bisa melihat celana dalam Titin yang saat itu sedang duduk dalam posisi kaki terbuka. Tapi Adi tidak terlalu perduli, Adi hanya ingin melihat yang mana yang namanya Titin. Dia sering mendengar teman-temannya membicarakan Titin, mereka menganggap Titin itu bagaikan dewi, sangat cantik. Adi melihat wajah Titin dengan seksama dari lubang kecil itu. Adi mulai mengerti kenapa begitu banyak yang membicarakannya, karena Titin memang sangat cantik. Apalagi jika Titin tersenyum dan tertawa. Sesaat kemudian, Titin merubah posisi duduknya menjadi agak miring, sehingga sekarang Titin menghadap persis ke arah Adi. Dengan kedua kaki Titin yang terbuka, Adi bisa melihat dengan jelas celana dalam yang dipakai Titin. Merasa malu sudah melihat celana dalam perempuan, Adi menyudahi kegiatan mengintipnya dan dengan wajah memerah kembali ke tempat duduknya. Indro kemudian mengambil alih lubang yang ditinggalkan Adi.

“Gimana Di? Enak? Warna apa celana dalamnya?” berondong Tasya saat Adi baru saja duduk. Dwi yang tadinya mengobrol dengan Tasya sudah kembali ke tempat duduknya.
“Pu…putih Sya” jawabnya dengan pandangan kosong.
“Oh, pake celana dalam putih”
“Bu..bukan Sya. Yang putih itu kulitnya, putih banget. Celana dalamnya mah warna merah” tatapan Adi kembali kosong, seperti sedang melamunkan sesuatu.
“Ooh. Kenapa lo?” Tanya Tasya yang terheran melihat Adi terbengong-bengong.
“Ah..gak apa-apa..Sya, celana dalam lo warna apa?” jawabnya mencoba terlihat biasa.
“Putih, kenapa? Mau lihat lo?”
“Gue masih ga ngerti apa enaknya ngelihat celana dalam”
“Lihat aja kalau lo bisa. Niih” kata Tasya sambil mengangkat roknya. Tapi Adi tidak bisa melihat celana dalam Tasya, karena Tasya memakai celana pendek ketat yang menutupi pahanya.
“Yee. Apa yang mau gue lihat coba?” protes Adi. Tasya sudah menurunkan roknya kembali.
“Enak aja lo mau ngelihat, ga boleh tauu” kata Tasya sambil mencubit tangan Adi. Adi mencoba melepaskan diri, tapi cubitan Tasya sangat keras, Adi hanya bisa pasrah.
“Kok lo pakai celana pendek Sya?” beberapa saat setelah Tasya akhirnya melepaskan cubitannya.
“Ya iyalah, daripada diintipin kaya si Titin, apalagi lo kan senang banget jatuhin pulpen”
“Apa hubungannya jatuhin pulpen ma ngintip?”
“Kalau lo jatuhin pulpen, ngambilnya kan harus nunduk, jadi gampang kan ngelihatnya, weee..” Tasya menjelaskan dan kemudian menjulurkan lidahnya, meledek Adi.
“Ya ampun Sya, sumpah gue ga ada niat ngintip celana dalam lo”
“Iya Di, gue bercanda kok. Gue pakai celana pendek karena gue emang suka pakai celana pendek, lebih bebas”
“Ooh..oke” Adi and Tasya menghentikan pembicaraan mereka karena guru mereka sudah memasuki kelas.

---- 0 ----

Keinginan Adi untuk terlihat hebat dimata Ira tetap tumbuh. Adi tetap berusaha mengalahkan nilai berenang Ira. Meskipun tidak bisa, tapi di saat pengambilan nilai terakhir, setidaknya Adi mendapat nilai yang sama dengan Ira, berhubung hanya Adi dan Ira yang sudah mampu menguasai 4 gaya berenang. Nilai sekolah Adi pun mulai membaik, walau hasil akhirnya dia tetap tidak bisa melebihi nilai Ira. Karena keinginan yang kuat itulah, Adi memutuskan usaha terakhirnya untuk melewati Ira adalah pada saat EBTANAS.

Malam sebelum EBTANAS, Adi yang sebelumnya tidak pernah belajar sama sekali, mulai membaca buku pelajaran. Adi berusaha keras menghafal rumus matematika, menghafal setiap pasal dalam Undang Undang Dasar, menghafal pelajaran IPA dan IPS, dan juga membaca dan memahami Bahasa Indonesia. Karena tidak terbiasa belajar, Adi cepat merasa bosan. Baru setengah buku dia baca, dia menghentikan kegiatannya untuk kemudian bermain game atau tidur. Selalu seperti itu setiap malam sebelum mata pelajaran tersebut diujikan.

Ketika pengumuman nilai EBTANAS, orang tua siswa diwajibkan hadir karena mereka harus mengurus administrasi sekolah. Adi dan papanya diberi selamat oleh kepala sekolah dan wali kelas Adi. Menurut mereka, hasil yang diraih Adi diluar dugaan, sangat berbeda dengan nilainya selama ini yang tidak mampu masuk peringkat atas kelas. Adi diberitahu mendapatkan nilai EBTANAS tertinggi ketiga di sekolahnya. Mendengar itu Adi merasa kecewa, karena dipikirannya dia lagi-lagi gagal mengalahkan Ira, yang menurutnya pastilah peringkat satu atau dua. Tiba-tiba papanya Adi bertanya “Siapa peringkat satu dan duanya bu?”. Jawaban yang diberikan wali kelasnya sangat mengejutkan Adi
“Iya pak, saya juga kaget, Adi bisa mengalahkan yang biasa juara kelas lho” jelas bu guru wali kelas.
“Oh ya? Siapa peringkat satu dan duanya?” papanya Adi mengulangi pertanyaannya. Adi menunggu jawaban bu guru dengan antusias.
“Peringkat satunya Indro, kedua Tasya” jawab bu guru.
“Hah? Ira? Ira peringkat berapa bu?” Tanya Adi penasaran. Jantungnya berdegup kencang, dia tidak percaya apa yang didengarnya barusan.
“Ira peringkat lima Di, dia ada dibawah Bayu” jelas bu guru.
Hati Adi berbunga-bunga. Pada akhirnya dia mampu melewati pencapaian Ira. Dia merasa sudah setara dengan perempuan yang disukainya. Dia berpikir, dengan hasil ini Ira akan melihat dia sebagai laki-laki hebat dan pintar dan Ira akan suka padanya. Setelah selesai membubuhkan cap sidik jari pada ijazahnya, Adi dan papanya meninggalkan ruangan Kepala Sekolah. Karena ingin bertemu Ira, Adi tidak mengikuti papanya pulang ke rumah, tapi dia menunggu di sekolah. Tidak lama kemudian, Adi melihat Ira keluar dari ruangan kepala sekolah, dan Adi langsung menghampiri Ira.
“Heei..Adi..selamat ya. Lo pinter juga ya ternyata, kalah gue jadinya” sapa Ira sebelum Adi sempat mengucapkan sepatah kata.
“I..Iya. Makasih ya Ra, lo juga hebat kok, masih rata-rata 8 kan?” kata Adi sambil menjabat tangan Ira.
“Masuk SMP mana Di?” Tanya Ira.
“SMP Negeri yang disebelah sekolah kita ini” jawab Adi sambil tersenyum bangga. Sekolah yang disebutnya merupakan sekolah pilihan pertama di wilayah itu. Bukan sekolah unggulan nasional, tapi setidaknya punya nama baik dan salah satu yang terbaik di wilayah itu.
“Lo sendiri masuk mana Ra? Sekolah yang sama kan?” lanjut Adi.
“Selamat lagi ya Di. Gue ga sekolah disini Di, gue pindah ke Semarang. Bapak gue pindah kerja ke Semarang dan gue harus ikut dia” kata Ira sambil tangan kirinya menepuk pundak kanan Adi.

Hati Adi yang tadinya berbunga-bunga, hancur seketika. Kabar yang dia dengar ini bagaikan mimpi buruk. Kenyataan bahwa Ira akan jauh dari dirinya membuat Adi sangat sedih. Dia sangat merasa kehilangan seseorang yang dikaguminya, seseorang yang membuatnya sangat bersemangat, seseorang yang disukainya. Adi mulai merasa hidupnya tidak adil, semua orang yang dia sayang selalu pergi meninggalkannya.

Followers

Powered By Blogger
 

Diary Of A Normal Man Copyright © 2008 Green Scrapbook Diary Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez