Senin, 01 Juni 2009

Chapter Seven


Chapter 7

Adi duduk di kelas 6, kelas terakhir dalam sekolah dasar. Adi mendapat dua teman baru di kelas ini, mereka adalah murid pindahan dari sekolah lain. Pertama ada Ichsan, anak seorang kaya yang bandel, kulitnya sawo matang, rambutnya ikal. Lalu ada Haris, anak berkulit putih dan pendiam.

Sejak awal kehadirannya, Ichsan selalu berusaha menjadi pusat perhatian. Selalu berbicara dengan suara yang keras, tertawa dengan keras, sehingga membuat seisi kelas bisa mendengar suara yang keluar dari mulutnya. Ichsan juga langsung menunjukkan kenakalannya dengan membawa rokok kedalam ruang kelas. Kalau sedang istirahat, dia akan menghisapnya bersama dengan Jupri, entah itu di pojokan kelas atau di toilet. Kenakalan Ichsan tidak hanya sampai disitu. Dengan rokoknya, dia senang menyundut apapun yang dia mau. Dia membuat lubang di baju beberapa temannya, lubang di tasnya dan tas teman-temannya, bahkan suatu kali dia menyundut lengan Jupri. Jupri yang dianiaya seperti itu diam saja, entah karena apa dia diam saja. Adi merasakan, sejak kehadiran Ichsan, Jupri sudah jarang sekali bermain dengannya, dan memilih bermain dengan Ichsan.

Haris, dari awal sangat pendiam. Senang mendengarkan orang lain mengobrol, tapi dirinya hampir tidak pernah mengeluarkan suara untuk ikut mengobrol. Haris dan Ichsan sama-sama tidak terlalu menonjol dalam pelajaran, bahkan mereka sangat tertinggal. Haris kemudian menceritakan kenapa dia terlihat sangat tertinggal dari yang lainnya. Menurut pengakuan Haris, dirinya sebenarnya sempat berhenti sekolah di kelas 5 selama lebih dari 2 tahun, dan karena bantuan kepala sekolah dirinya dimasukkan ke kelas 6 padahal seharusnya dirinya masih di kelas 5. Mendengar itu, Adi dan sahabatnya, Rahman dan Tasya, setiap hari secara bersamaan ataupun bergantian, mencoba mengajarkan Haris setiap mata pelajaran yang tidak dimengertinya.

Usaha mereka pada awalnya menunjukkan hasil, nilai-nilai Haris mulai membaik. Haris sudah mulai bisa mengikuti pelajaran dengan baik, jauh meninggalkan Ichsan yang masih sering tertinggal. Tapi pada akhirnya, usaha mereka berujung pada suatu yang mengecewakan mereka. Haris kembali harus berhenti dari sekolah itu di pertengahan tahun ajaran, Haris memutuskan untuk bekerja membantu orang tuanya ketimbang menghabiskan waktunya di sekolah.

---- 0 ----

Sejak pertama melihat Ira berlatih karate, Adi semakin sering pergi ke sekolah di sore hari hanya untuk melihat Ira berlatih. Tidak hanya sering melihat Ira latihan karate, Adi juga mulai sering memperhatikan Ira dalam berbagai hal. Mulai dari saat berenang, jam pelajaran olah raga, di dalam kelas, saat istirahat sampai saat pulang. Adi melihat Ira sebagai sosok perempuan yang menakjubkan. Bisa mengalahkan laki-laki dalam banyak hal, mulai dari nilai pelajaran, olah raga, sampai ke permainan yang biasanya dilakukan laki-laki. Adi selalu berusaha mengalahkan Ira dalam berenang, tetapi Ira selalu lebih unggul dan mendapat nilai tertinggi. Begitupun dalam pelajaran, Adi tidak pernah bisa mengalahkan Ira yang selalu mendapat peringkat yang baik di kelas, bersaing dengan Indro, Tasya dan Bayu.

Satu-satunya hal dimana Adi lebih unggul dari Ira adalah dalam pelajaran tambahan bahasa Inggris, yang mulai dijadikan pelajaran tambahan sejak kelas 5. Karena punya kelebihan dalam bahasa Inggris itulah akhirnya Adi bisa lebih sering berbicara dengan Ira. Ira, Rahman, Tasya, Bayu dan Indro sering meminta bantuan Adi dalam mengerjakan soal-soal bahasa Inggris, dan Adi dengan senang hati membantu mereka.

Suatu siang saat sedang menunggu bel pulang sekolah, Adi sedang mengobrol dengan Tasya dan Rahman. Beberapa teman Adi berada di luar kelas, karena kebetulan guru pelajaran terakhir tidak masuk hari itu, jadi keadaan kelas memang sedikit kacau. Sedang seru-serunya mengobrol, perhatian mereka teralihkan oleh kedatangan Bayu, sang ketua kelas, yang memanggil anak-anak laki-laki untuk berkumpul di luar kelas. Dengan berat hati, Adi dan Rahman menuruti kemauan Bayu. Hampir semua anak laki-laki berkerumun si sudut sekolah, sepertinya serius mendengarkan seseorang yang mereka kerumuni. Adi yang penasaran berusaha untuk melihat siapa yang berbicara kepada semuanya, dan setelah bersusah payah Adi melihat yang ada di tengah kerumunan itu adalah Indro.

“Jadi gitu, dia ngancem mau nyerang sekolah kita” kata Indro.
“Kita serang aja duluan, ngapain takut” balas Ichsan.
“Iya, kita duluan aja yang samperin, kan kita pulang duluan daripada mereka” Bayu menimpali
“Tar dulu dong, yakin ga nih mau nyerang duluan? Lo sih enak Bay, belajar kungfu dari kecil, lah yang lain?” kata Indro
“Lo kan karate Dro, gimana sih, masa takut” bayu menjawab Indro
“Gue sih oke aja, yang lain gimana Bay?”
Hampir semua dari yang berkerumun menjawab “Setuju!”. Adi dan Rahman yang masih bingung dan tidak tahu apa permasalahannya mencoba mencari tahu.
“Ada apa sih Bay? Nyerang siapa? Mau berantem ya?” Tanya Adi pada Bayu.
“Anak SD komplek sebelah mau nyerang kita, gue juga ga tahu kenapa mereka mau nyerang, tapi kalau mang mau mereka begitu gue ga bisa diem. Lo ikut aja, kita serang duluan” jawab Bayu.
“Ooh. Malas ah, ga jelas kenapanya” kata Adi sambil beranjak kembali ke dalam kelas. Rahman mengikuti dibelakangnya.

Tidak lama kemudian, bel pulang sekolah berbunyi. Anak-anak laki-laki berebutan masuk untuk mengambil tas dan kemudian keluar lagi.
“Anak cewek yang pulang lewat komplek sebelah mendingan tunggu agak siang dikit pulangnya. Atau kalau enggak, pulang lewat jalan lain ya” kata Bayu sebelum meninggalkan ruangan kelas.
“Ada apa sih Di?” Tanya Tasya.
“Anak-anak mau berantem sama sekolah komplek sebelah”
“Loh, kenapa?”
“Gak tau Sya, alesannya ga jelas. Katanya sekolah kita mau diserang, jadi anak-anak mau nyerang duluan”
“Lo kenapa ga ikut?”
“Males gue Sya, ga jelas berantemnya buat apa”
“Oh..takut lo ya? Hehehe…” kata Tasya sambil mencubit tangan Adi.
“Enak aja. Gue ga ikut ya karena gue males aja berantem buat sesuatu yang ga jelas”
Adi kemudian teringat kejadian beberapa waktu yang lalu di rumahnya. Pagi minggu itu Adi disuruh memandikan anjingnya. Adi tidak suka dengan anjing yang ini, entah kenapa, karena biasanya Adi sangat menyayangi anjing. Mungkin karena anjing ini pernah menggigit Indro dan Agung beberapa minggu yang lalu. Kekesalan Adi pada anjing itu belum hilang. Saat sedang memandikan anjing itu dengan air dalam satu baskom besar, anjing itu berontak dan menggigit tangan Adi. Seketika itu juga kegelapan memenuhi Adi. Keadaannya sangat gelap dan hampa. Ketika tersadar, papanya sedang mengguncang tubuh Adi yang basah kuyup.
“Kenapa kamu Di?” Tanya papanya.
“Hah? Ga kenapa-kenapa” jawab Adi yang masih bingung.
“Terus kenapa kamu tadi cekik Topsi di dalam baskom? Kamu mau bunuh dia?” kata papanya dengan nada yang lebih tinggi.
Adi terkejut. Adi tidak mengingat sama sekali tentang dia mencekik anjingnya di dalam baskom. Yang dia ingat hanyalah semuanya tiba-tiba menjadi gelap.
“Adi…Adi…ngelamun lo?” Tanya Tasya sambil menepuk-nepuk pundak Adi dan membuyarkan lamunannya.
“Eh, engga” jawab Adi.
“Pulang ga lo? Gue mau pulang nih, gue kan ga lewat komplek sebelah”
“Nanti dulu deh Sya, gue mau nunggu yang lain dulu”
“Ya udah, gue duluan ya” Tasya beranjak pergi.
“Sya, Ira mana ya? Lihat ga?” Tanya Adi saat Tasya mencapai pintu kelas.
“Ira? Ira kan tadi ikut anak-anak cowok. Lo kaya ga kenal Ira aja” jawab Tasya sambil meninggalkan kelas, meninggalkan Adi yang mulutnya menganga, Adi yang menyesal tidak ikut menyerang sekolah komplek sebelah bersama Ira, menyesal terlihat seperti cowok lemah dimata Ira, perempuan yang Adi sukai.

---- 0 ----

Keesokan harinya, orang pertama yang dicari oleh Adi adalah Ira. Adi mau mendengar cerita Ira tentang penyerangan sekolah komplek sebelah.
“Ira, gimana kemaren?” Tanya Adi.
“Apanya yang gimana Di?” jawab Ira sambil membetulkan posisi celana olah raganya.
“Kemaren, sekolah komplek sebelah….gimana berantemnya?” Tanya Adi kembali sambil meletakkan tasnya.
“Berantem? Siapa yang berantem? Gue kemaren ga berantem kok” Ira mengencangkan ikatan tali sepatunya.
“Lho, bukannya lo kemaren ikut anak-anak cowok mau nyerang sekolah komplek sebelah?” Adi ikut-ikutan mengencangkan tali sepatu.
“Enggak tuh, gue kemaren langsung pulang. Anak-anak juga ga ada yang berantem, mereka ke rumah Bayu katanya”
“Oh. Kirain lo ikut mereka karena mau nyerang sekolah komplek sebelah”
“Gue ikut mereka karena rumah gue kan lewat komplek sebelah, seru aja kalau pulang rame-rame. Kenapa sih lo serius banget nanyain soal berantem?”
“Ah ga apa-apa”
Bel tanda masuk berbunyi, Adi dan Ira, bersama teman-teman lainnya segera meninggalkan ruangan kelas, karena jam pelajaran pertama mereka hari itu adalah olah raga.

---- 0 ----

Pagi itu, Adi sedang belajar bersama Tasya. Adi dan Tasya di kelas 6 memang duduk satu meja. Kemudian datang Dwi, mengajak Tasya untuk mengobrol.
“Lihat deh tuh anak cowok, pada gila semua” kata Dwi sambil menunjuk ke sekelompok anak kelas enam di bagian belakang kelas.
“Kenapa Dwi?” Tanya Tasya yang bingung dengan maksud Dwi. Adi juga tak kalah bingungnya.
“Pada ngintipin celana dalamnya Titin, anak kelas 5” jelas Dwi.
“Haah?!” Adi dan Tasya sama-sama terperangah.
“Masa sih Wi?” Tanya Tasya sambil menahan tawa.
“Titin itu yang mana ya?” Tanya Adi pada Dwi, bersamaan dengan pertanyaan Tasya.
“Iya Sya..Titin, yang putih, rambut panjang..yang paling cakep itu lho Di” kata Dwi mencoba menjawab keduanya.
“Apa enaknya coba ngelihatin celana dalam orang?” Tanya Tasya terheran dengan sikap anak laki-laki di kelasnya.
“Tau deh”
“Penasaran gue” kata Adi yang kemudian beranjak menuju tempat gerombolan anak laki-laki itu.
“Huu..dasar lo Di, sama aja” kata Tasya diikuti tawanya, menertawakan Adi. Dwi juga ikut menertawakan Adi.
Kelas 6 dan kelas 5 hanya terpisah oleh papan-papan kayu. Beberapa papan membuat celah, sehingga cukup banyak lubang untuk mengintip ke ruangan sebelah. Adi kemudian menuju lubang terdekat dengan lubang yang diperebutkan anak-anak lainnya. Posisi lubang yang dipilih Adi memang agak sulit dijangkau, karena terhalang kursi yang dipakai oleh Indro. Berhubung Indro sedang asik berebut lubang lain yang tidak terhalang apapun, Adi menggeser kursi Indro dan mencoba melihat melalui lubang tersebut.

Adi mendapati lubang ini tidak tepat berada di hadapan Titin, sehingga Adi tidak bisa melihat celana dalam Titin yang saat itu sedang duduk dalam posisi kaki terbuka. Tapi Adi tidak terlalu perduli, Adi hanya ingin melihat yang mana yang namanya Titin. Dia sering mendengar teman-temannya membicarakan Titin, mereka menganggap Titin itu bagaikan dewi, sangat cantik. Adi melihat wajah Titin dengan seksama dari lubang kecil itu. Adi mulai mengerti kenapa begitu banyak yang membicarakannya, karena Titin memang sangat cantik. Apalagi jika Titin tersenyum dan tertawa. Sesaat kemudian, Titin merubah posisi duduknya menjadi agak miring, sehingga sekarang Titin menghadap persis ke arah Adi. Dengan kedua kaki Titin yang terbuka, Adi bisa melihat dengan jelas celana dalam yang dipakai Titin. Merasa malu sudah melihat celana dalam perempuan, Adi menyudahi kegiatan mengintipnya dan dengan wajah memerah kembali ke tempat duduknya. Indro kemudian mengambil alih lubang yang ditinggalkan Adi.

“Gimana Di? Enak? Warna apa celana dalamnya?” berondong Tasya saat Adi baru saja duduk. Dwi yang tadinya mengobrol dengan Tasya sudah kembali ke tempat duduknya.
“Pu…putih Sya” jawabnya dengan pandangan kosong.
“Oh, pake celana dalam putih”
“Bu..bukan Sya. Yang putih itu kulitnya, putih banget. Celana dalamnya mah warna merah” tatapan Adi kembali kosong, seperti sedang melamunkan sesuatu.
“Ooh. Kenapa lo?” Tanya Tasya yang terheran melihat Adi terbengong-bengong.
“Ah..gak apa-apa..Sya, celana dalam lo warna apa?” jawabnya mencoba terlihat biasa.
“Putih, kenapa? Mau lihat lo?”
“Gue masih ga ngerti apa enaknya ngelihat celana dalam”
“Lihat aja kalau lo bisa. Niih” kata Tasya sambil mengangkat roknya. Tapi Adi tidak bisa melihat celana dalam Tasya, karena Tasya memakai celana pendek ketat yang menutupi pahanya.
“Yee. Apa yang mau gue lihat coba?” protes Adi. Tasya sudah menurunkan roknya kembali.
“Enak aja lo mau ngelihat, ga boleh tauu” kata Tasya sambil mencubit tangan Adi. Adi mencoba melepaskan diri, tapi cubitan Tasya sangat keras, Adi hanya bisa pasrah.
“Kok lo pakai celana pendek Sya?” beberapa saat setelah Tasya akhirnya melepaskan cubitannya.
“Ya iyalah, daripada diintipin kaya si Titin, apalagi lo kan senang banget jatuhin pulpen”
“Apa hubungannya jatuhin pulpen ma ngintip?”
“Kalau lo jatuhin pulpen, ngambilnya kan harus nunduk, jadi gampang kan ngelihatnya, weee..” Tasya menjelaskan dan kemudian menjulurkan lidahnya, meledek Adi.
“Ya ampun Sya, sumpah gue ga ada niat ngintip celana dalam lo”
“Iya Di, gue bercanda kok. Gue pakai celana pendek karena gue emang suka pakai celana pendek, lebih bebas”
“Ooh..oke” Adi and Tasya menghentikan pembicaraan mereka karena guru mereka sudah memasuki kelas.

---- 0 ----

Keinginan Adi untuk terlihat hebat dimata Ira tetap tumbuh. Adi tetap berusaha mengalahkan nilai berenang Ira. Meskipun tidak bisa, tapi di saat pengambilan nilai terakhir, setidaknya Adi mendapat nilai yang sama dengan Ira, berhubung hanya Adi dan Ira yang sudah mampu menguasai 4 gaya berenang. Nilai sekolah Adi pun mulai membaik, walau hasil akhirnya dia tetap tidak bisa melebihi nilai Ira. Karena keinginan yang kuat itulah, Adi memutuskan usaha terakhirnya untuk melewati Ira adalah pada saat EBTANAS.

Malam sebelum EBTANAS, Adi yang sebelumnya tidak pernah belajar sama sekali, mulai membaca buku pelajaran. Adi berusaha keras menghafal rumus matematika, menghafal setiap pasal dalam Undang Undang Dasar, menghafal pelajaran IPA dan IPS, dan juga membaca dan memahami Bahasa Indonesia. Karena tidak terbiasa belajar, Adi cepat merasa bosan. Baru setengah buku dia baca, dia menghentikan kegiatannya untuk kemudian bermain game atau tidur. Selalu seperti itu setiap malam sebelum mata pelajaran tersebut diujikan.

Ketika pengumuman nilai EBTANAS, orang tua siswa diwajibkan hadir karena mereka harus mengurus administrasi sekolah. Adi dan papanya diberi selamat oleh kepala sekolah dan wali kelas Adi. Menurut mereka, hasil yang diraih Adi diluar dugaan, sangat berbeda dengan nilainya selama ini yang tidak mampu masuk peringkat atas kelas. Adi diberitahu mendapatkan nilai EBTANAS tertinggi ketiga di sekolahnya. Mendengar itu Adi merasa kecewa, karena dipikirannya dia lagi-lagi gagal mengalahkan Ira, yang menurutnya pastilah peringkat satu atau dua. Tiba-tiba papanya Adi bertanya “Siapa peringkat satu dan duanya bu?”. Jawaban yang diberikan wali kelasnya sangat mengejutkan Adi
“Iya pak, saya juga kaget, Adi bisa mengalahkan yang biasa juara kelas lho” jelas bu guru wali kelas.
“Oh ya? Siapa peringkat satu dan duanya?” papanya Adi mengulangi pertanyaannya. Adi menunggu jawaban bu guru dengan antusias.
“Peringkat satunya Indro, kedua Tasya” jawab bu guru.
“Hah? Ira? Ira peringkat berapa bu?” Tanya Adi penasaran. Jantungnya berdegup kencang, dia tidak percaya apa yang didengarnya barusan.
“Ira peringkat lima Di, dia ada dibawah Bayu” jelas bu guru.
Hati Adi berbunga-bunga. Pada akhirnya dia mampu melewati pencapaian Ira. Dia merasa sudah setara dengan perempuan yang disukainya. Dia berpikir, dengan hasil ini Ira akan melihat dia sebagai laki-laki hebat dan pintar dan Ira akan suka padanya. Setelah selesai membubuhkan cap sidik jari pada ijazahnya, Adi dan papanya meninggalkan ruangan Kepala Sekolah. Karena ingin bertemu Ira, Adi tidak mengikuti papanya pulang ke rumah, tapi dia menunggu di sekolah. Tidak lama kemudian, Adi melihat Ira keluar dari ruangan kepala sekolah, dan Adi langsung menghampiri Ira.
“Heei..Adi..selamat ya. Lo pinter juga ya ternyata, kalah gue jadinya” sapa Ira sebelum Adi sempat mengucapkan sepatah kata.
“I..Iya. Makasih ya Ra, lo juga hebat kok, masih rata-rata 8 kan?” kata Adi sambil menjabat tangan Ira.
“Masuk SMP mana Di?” Tanya Ira.
“SMP Negeri yang disebelah sekolah kita ini” jawab Adi sambil tersenyum bangga. Sekolah yang disebutnya merupakan sekolah pilihan pertama di wilayah itu. Bukan sekolah unggulan nasional, tapi setidaknya punya nama baik dan salah satu yang terbaik di wilayah itu.
“Lo sendiri masuk mana Ra? Sekolah yang sama kan?” lanjut Adi.
“Selamat lagi ya Di. Gue ga sekolah disini Di, gue pindah ke Semarang. Bapak gue pindah kerja ke Semarang dan gue harus ikut dia” kata Ira sambil tangan kirinya menepuk pundak kanan Adi.

Hati Adi yang tadinya berbunga-bunga, hancur seketika. Kabar yang dia dengar ini bagaikan mimpi buruk. Kenyataan bahwa Ira akan jauh dari dirinya membuat Adi sangat sedih. Dia sangat merasa kehilangan seseorang yang dikaguminya, seseorang yang membuatnya sangat bersemangat, seseorang yang disukainya. Adi mulai merasa hidupnya tidak adil, semua orang yang dia sayang selalu pergi meninggalkannya.

2 komentar:

Ratusya on 1 Juni 2009 pukul 09.09 mengatakan...

tok tok.. baru mampir ke rumah barunya ode & ari... ck ck ck... good... keep posting & storying :D

CONTACT ME on 27 Juli 2013 pukul 05.15 mengatakan...

DOWNLOAD XXX NURS HENTAI SEX ADULT PC GAME 18+ CLICK HERE TO DOWNLOAD

Posting Komentar

Followers

Powered By Blogger
 

Diary Of A Normal Man Copyright © 2008 Green Scrapbook Diary Designed by SimplyWP | Made free by Scrapbooking Software | Bloggerized by Ipiet Notez